Pulang


"When the world seems so cruel, and your heart makes you feel like a fool, I promise I will be your remedy." --Adele, Remedy.


Aku melihatmu datang lagi. Dengan rambut tergerai dimainkan angin, kau menutup setengah wajahmu dengan telapak tangan. Warna saga matahari mengecup kulitmu. Kau menyipitkan mata, tersenyum padaku.

"Aku rindu," katamu.
"Aku juga," jawabku setengah malu.

***

Setelah dua tahun, akhirnya kau kembali ke sini. Katamu, tepat dua tahun kemarin, kau akan pergi ke negeri yang jauh. Negeri yang dingin dengan orang-orang beraut wajah keras dan rambut berwarna keemasan. Kau harus pergi. Melanjutkan studi sekaligus mengobati luka hatimu yang ditinggal pria brengsek itu. Aku hanya bisa mengangguk pelan, sambil mempermainkan anak-anak rambutmu yang selalu menggemaskan itu.

Sesaat sebelum pergi, kau menghampiriku, bercerita pendek-pendek soal ribetnya keberangkatanmu nanti. Pembuatan visa yang menguras tenaga, sambal dan abon ayam buatan mamak favoritmu yang ikut kau masukkan ke dalam koper, dan daftar oleh-oleh dua keponakanmu yang amat menggemaskan itu. Kau menangis haru saat itu. Kau menyeka air matamu sambil tersenyum. Senyummu yang selalu berhasil mencuri debarku yang panjang.

"Aku akan pulang dan semuanya akan baik-baik saja, kan?" Kau bertanya sambil menatapku lurus. Aku hanya balik menatap bola matamu yang bulat jenaka. Kita sama-sama hening, setelahnya kau berbalik pergi. Itu terakhir kalinya aku melihatmu, sampai akhirnya kau kembali dengan senyummu yang selalu penuh itu.

***

Kau akhirnya kembali. Di sore yang berangin, kau menghampiriku. Mengenakan kemeja berwarna putih tulang berlengan panjang, dengan celana jeans berwarna biru langit, warna kesukaanmu. Setelah dua tahun, tak banyak yang berubah darimu selain rambut sebahumu yang sedikit memanjang. Selebihnya, semua sama. Matamu masih bulat jenaka, senyummu masih penuh dan menggemaskan, serta suaramu masih selalu berhasil membuatku jatuh rindu. Kau tersenyum. Matamu tampak berkaca-kaca menahan tangis.

"Aku akhirnya selesai dengan semuanya. Dengan urusan-urusanku. Dengan perasaan-perasaanku. Semuanya. Jika orang lain berhak berbahagia, begitupun dengan aku, bukan?" Kau bertanya dengan nada tidak butuh jawaban. Seperti biasa. Aku hanya bisa terdiam dan menatapmu lurus. Kakimu yang telanjang tanpa sepatu memainkan pasir di hadapanku. Kau mengais-ngais pelan pasir sambil tersenyum. Aku bisa melihat kelegaan yang panjang dari garis senyummu yang selalu memesona itu.

"Apa kabar?" Aku bertanya pelan, sambil lagi-lagi memainkan anak rambutmu yang berombak.

Tiada jawaban. Hanya ada embusan napas pelan yang panjang. Sepertinya kau baik-baik saja sekarang. Tak lama, kau merogoh tas bahu warna hitam yang tersampir di bahumu, dan mengambil pena hitam dan buku catatan kecil bergambar pohon pinus yang teduh. Seperti biasa, kau akan duduk di atas pasir dan menulis catatan-catatan panjang di hadapanku. Terkadang curahan hati, cerita pendek, dan di lain waktu puisi-puisi yang setelah kau tulis kau akan bacakan di hadapanku sambil tersenyum. Katamu puisimu selalu jelek dan konyol, aku membantahnya. Kau menulis puisi dengan sangat manis dan penuh perasaan. Kau hanya mengangkat bahu. Setelah selesai menulis, kau akan berdiri, menepuk-nepuk celanamu dan membersihkannya dari pasir, lalu berbalik meninggalkanku dalam hening.

***

Aku ingat betul. Dua tahun kemarin, kau datang ke hadapanku dengan pria itu. Kau mengapit tangannya, lalu memamerkan senyum bahagiamu. Aku bisa melihat cincin keemasan yang melingkar di jari manismu dan jari manisnya. Silau. Pria itu, menatapmu lurus, tersenyum, lalu mengusap kepalamu dengan lembut. Aku marah. Aku merasa panas. Tak berlangsung lama, kalian kemudian duduk berdampingan di atas pasir, menikmati jagung bakar pedas manis dan air kelapa yang diminum langsung dari batoknya, serta bercerita dengan tawa yang tak putus-putus. Bahagia sekali. Aku hanya mampu menutup kuping sambil terus berdebar. Entah mengapa, aku melihat raut jahat di wajah pria itu. Aku merasa, tinggal menunggu waktu, ia akan pergi berbalik meninggalkan luka yang dalam di hatimu. Keyakinan yang jahat namun entah, saat melihatmu bersamanya di hadapanku, aku merasa iba padamu.

***

Tidak butuh waktu lama. Selang beberapa bulan setelah kedatanganmu dengannya di hadapanku, kau kembali datang. Dengan tangis yang putus-putus dan bahu terguncang, kau tampak berantakan. Kau bercerita dengan suara yang lirih, pria itu pergi meninggalkanmu demi perempuan yang tak lebih baik darimu. Ia pergi tanpa kata pamit, hanya dengan sepersekian alasan konyol yang tak masuk akal bagimu. Kau hanya bisa menangis, mengusap pipimu yang basah dengan punggung tangan yang masih gemetar. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya mampu memainkan anak-anak rambut berombakmu yang tetap saja tampak menggemaskan di saat apapun. Kau terus menangis.

"Menangislah jika itu membuatmu lega. Keluarkan semua rasa sakit dari rongga dadamu. Ada masa di mana kau akan bangkit dan sembuh dari semua luka ini. Percayalah." Aku berkata lurus. Kau seolah mendengarkan dan balas menatapku lurus.

***

Setelah lama tak melihatmu, pagi ini kau datang lagi. Dengan mengenakan baju cokelat muda selutut tanpa sandal, perutmu tampak membesar. Seorang pria --bukan pria brengsek kemarin-, menemanimu di samping. Ia tersenyum menatapmu penuh arti. Entah mengapa, saat kau datang kali ini, aku seperti menyukai pria tersebut. Ia tampak berbeda dari pria sebelumnya.

Kau berjalan bersamanya lurus di sisiku. Kau bercerita tentang drama Korea yang baru saja keluar bulan ini, produk lipstik terbaru dari brand kesukaanmu yang akan kau beli selepas gajian nanti, buku-buku yang akan kau baca di masa cuti melahirkanmu nanti, dan banyak hal lainnya. Aku mendengar seksama. Begitu pun pria tersebut. Ia tampak antusias di setiap cerita remeh yang kau ceritakan padanya. Satu dua kali ia menyambung ceritamu, dan kalian bertukar tawa yang amat lebar di pagi yang amat pagi ini.

Aku turut bahagia. Melihatmu tersenyum dan tertawa adalah segalanya bagiku. Dan demi melihat perasaan bahagiamu dengan pria itu pagi ini, aku mengirimkan ombak paling lembut dan angin paling teduh yang kupunya.

Berceritalah apapun padaku saat kau butuh. Datanglah seterusnya dengan orang-orang yang kau sayang di hadapanku. Aku, laut dengan ombak paling teduh dan angin paling sepoi yang pernah ada, akan selalu setia di sini. Berbahagialah!

Comments

Post a Comment

Popular Posts