What's Next?

 
cr

"Life is a journey, not a destination." --Ralph Waldo emerson-


Sebulan lagi saya bakalan kembali ke tanah air. Masa studi di tanah Paman Sam akan berakhir, Mei nanti saya diwisuda. Apa yang saya rasakan? Pertanyaan itu yang banyak ditanyakan oleh orang-orang terdekat. Campur aduk. Bahagia, sedih, excited, dan berbagai perasaan yang saya sendiri susah menamainya. Bahagia, karena tentu saja saya akan bertemu kelurga di rumah yang terpisah jarak ribuan kilometer. Sedih karena saya harus berpisah dengan keluarga yang ada di sini, orang tua angkat, teman-teman seapartemen, sahabat-sahabat sepermainan di Amerika, dan semua memori-memori yang saya yakin tidak bisa saya lupakan di sisa umur saya.
Akhir-akhir ini, saya jadi mempertanyakan arti rumah. What does home mean for me? Apakah rumah berarti rumah saya di Sulawesi? Atau apakah rumah saya di sini juga, di Virginia? Kemudian, saya tersadar, kalau rumah bukan hanya sekadar bangunan yang berisi ruang-ruang di mana saya bisa tidur dan melakukan banyak aktivitas, tapi rumah berarti di mana saya merasa nyaman, tempat saya selalu mengingat kata pulang. Dan yap, rumah bukan hanya sekadar bangunan, rumah juga bisa berarti hati. Hati tempat kita pulang setelah lelah yang panjang. *kemudian galau bakalan pulang ke hati siapa*


Pertanyaan selanjutnya, setelah ini apa? Saya jadi berpikir keras belakangan ini. Opsi pertama tentu saja kembali ke rumah, kembali ngantor, dan kembali beraktivitas seperti dulu. Dan ternyata, many things popped up from my head. Apakah saya sebaiknya merantau lagi? Ke tempat yang jauh. Mencari kehidupan yang lain lagi. Opsi yang ditawarkan orang-orang kebanyakan; menikah. Saya tertawa. Menikah? Bahkan sekarang saya kembali memikirkan apakah saya akan menikah atau tidak. Bukan apa-apa, saya merasa sekarang ya makin sulit untuk menemukan seseorang yang benar-benar tepat untuk ditemani melewati sisa hidup bersama. Makin ribet. Saya hanya bisa menjawab tawaran orang-orang dengan senyuman paling manis. Menikah ada di opsi kesekian di kepala saya. Sekolah lagi? Ya, opsi tersebut ada di kepala saya juga. Melanjutkan studi di benua lain. Berburu beasiswa lagi. Kembali menantang diri untuk keluar dari zona nyaman. Kembali mencoba mencari jati diri dengan berjalan lebih jauh.

Usia 23 tahun, kata orang ini adalah masa-masa kritis sebelum memasuki usia seperempat abad. Kita jadi banyak berpikir soal banyak hal, dan masa depan adalah hal yang paling sering muncul di kepala. Akan jadi apa saya sepuluh tahun ke depan? Ke mana saya harus melangkah? Apa langkah yang paling baik untuk saya ambil sekarang? Pokoknya demikian. Saya sih ya, hampir setiap hari, bangun pagi, pertanyaan-pertanyaan itu hadir di kepala, membikin pusing sejenak, dan berakhir saya hanya bisa scroll-scroll feed Instagram sampai jam mandi pagi tiba. Demikian. Demi menghindari pertanyaan kritis yang hadir di kepala sendiri. Demi menghindari untuk menjawab pertanyaan krusial untuk diri sendiri. Serandom itu.

Jadi ke mana setelah ini? Entah. Sebulan ini, saya ingin menikmati waktu-waktu saya di Amerika. Menikmati waktu bersama orang-orang tersayang. Ya udah, gitu dulu. Saya mau lanjutin nulis research paper yang dari kemarin ga kelar-kelar.

Alexandria pukul 6 sore,

Kiki 

Comments

  1. wah keren bisa kuliah di amerika, saya juga bercita cita bisa kuliah di sana. money!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts