Menjadi Dewasa



Waktu masih kecil dulu, apa masalah terbesar kita? Ngambekan sama teman, PR Matematika yang bikin kepala pusing, atau paksaan tidur siang selepas pulang sekolah, terputar-putar di situ saja. Setelah diingat-ingat, semuanya sesepele itu. Setelah bertumbuh dewasa, semuanya menjadi semakin rumit. Seperti benang yang kusut, makin kita mencoba mengulurnya, ujung-ujungnya malah semakin berantakan. Serumit itu.

Menjadi dewasa. Kemarin, setelah termenung menunggu bus di halte sambil menahan gigil di bawah suhu minus empat belas derajat Celsius, saya berpikir panjang. Menjadi orang dewasa, keluar jauh dari zona nyaman dan "ketiak" orangtua, benar-benar menempa kita jadi manusia. Dulu, dulu sekali, saya ingat betul, sebab sepertinya ini jadi satu kenangan paling manis dalam sejarah masa kecil saya. Saya senang mandi hujan sampai gigil. Sampai kulit tangan dan kaki saya tampak keriput, bibir menggigil, iris mata berubah merah, tapi saya tetap gigih menari di bawah pancuran atap rumah. Setelah Mamak memanggil-manggil, saya berhenti, lalu di sana sudah tersedia air hangat untuk berbilas, handuk, baju bersih bau deterjen andalan Mamak, sepiring bubur kacang hijau hangat dan segelas susu cokelat hangat. Setelah berganti pakaian dan menghabiskan bubur dan susu, saya kemudian jatuh tertidur. Bangun-bangun, suara azan Magrib sudah terdengar di penjuru kompleks, saya bergegas pergi ke masjid bersama teman-teman. Jalanan masih basah, bau tanah selepas hujan menguar dari setiap sudut jalan yang kami lewati. Sejelas itu ingatan masa kecil yang lekat di kepala. Nulis ini bahkan saya jadi senyum-senyum sendiri.


Selepas masa kanak-kanak, ada masa remaja yang seperti roller coaster. Jatuh cinta (monyet), perubahan struktur tubuh yang kala itu membikin saya stress, dan masalah-masalah remeh yang kadang bikin saya ketawa kalau pas ingat. Setelah itu, masa transisi antara remaja dan menuju dewasa. Saya mengalaminya di tahun-tahun pertama kuliah. Rasa-rasanya, itu salah satu fase tersulit yang pernah saya alami.

Sekarang, menuju 23 tahun, menjadi dewasa adalah pilihan satu-satunya yang saya miliki di depan sana. Memang, kedewasaan tidak bisa diukur dari jumlah usia yang kita punya, tapi saya merasa kalau di tahun ini, saya harus menjadi sosok yang lebih dewasa.

Setelah merenung panjang, ternyata menjadi dewasa itu rumit sekali. Kita harus siap menghadapi segala risiko di depan, belakang, bahkan dari segala penjuru. Kalau kata salah seorang teman saya begini, "Bahkan kita harus siap menghadapi risiko dari sesuatu yang tidak bersinggungan dengan hidup kita sendiri." Sungguh, it sounds really complicated for me. Awalnya terdengar lucu, bagaimana mungkin kita menghadapi risiko dari sesuatu yang tidak pernah "mampir" dalam hidup kita? Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, benar juga, menjadi dewasa menuntut kita menjadi sosok yang selalu siaga menghadapi "serangan" yang datang dari mana saja. Tuntutan sosial, lingkungan, bahkan pressure yang datang dari diri sendiri pun bisa membikin kita merasa di bawah tekanan. Pekerjaan, percintaan, keluarga, lingkaran pertemanan, you name it, semuanya bertumbuh semakin rumit.

Ada banyak hal yang berubah setelah kita manjadi dewasa, saya rasa. Banyak sekali hal remeh yang kadang kita rindukan dari masa-masa kecil dulu. Saya sendiri, terkadang ingin kalau mesin waktu itu benar-benar ada, dan saya pengin sekali meminjamnya untuk kembali ke masa kecil barang satu jam saja. Melihat bagaimana saya waktu kecil dulu benar-benar menikmati waktu, benar-benar menjadi diri saya sendiri yang apa adanya, dan berbagai keistimewaan lain yang sudah hilang semenjak saya menjadi dewasa.

Dan satu hal yang paling ingin saya kunjungi; melihat kedua orangtua saya yang masih muda dan kuat saat saya kecil dulu. Sungguh, menjadi dewasa membuat saya tersadar bahwa kedua orangtua saya sekarang sudah tidak muda lagi. Mereka menua, seiring saya tumbuh menjadi dewasa dengan segala hal-hal rumit di sekitar.

Virginia, 6 Januari 2018,

Kiki

Comments

Popular Posts