Tukar Jiwa



"Coba sehari saja, satu hari saja, kau jadi diriku~"


Kurapikan buku-buku di atas meja kafe yang kutumpangi sejak dua jam yang lalu. Gelas kopi yang kupesan sudah tandas. Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa. Kepalaku sedang penuh-penuhnya. Tumpukan deadline liputan sedang menggila. Editorku sedang gemas-gemasnya. Tak ada hari tanpa amarahnya belakangan ini. Liputan yang seharusnya kusetor sore ini, lagi-lagi harus kutunda, entah mengapa, kepalaku tiba-tiba kosong saat memandang kedipan kursor di layar laptop.

Tiba-tiba, telepon genggamku berderit pelan. Ada panggilan masuk. Nama editorku yang muncul di layar membikin lidahku semakin pahit. Sisa rasa kopi yang kuminum belum hilang sempurna.

"Pagi, kamu di mana? Saya tidak mau tahu ya, draft liputanmu sudah harus masuk sore ini di email saya. Tidak ada alasan!" Suara bariton editorku menggema. Aku hanya mengangguk pelan, walau tentu saja dia tidak bakalan bisa melihatku mengangguk di sini. Sambungan telepon langsung diputusnya. Hih. Aku sebal sekali. Ingin rasanya aku berteriak, tapi tentu tidak di sini. Kutatap pantulan wajahku dari layar telepon genggam. Rambut sebahu yang tidak kusisir seharian tampak mencemaskan. Kukenakan topi abu-abu andalanku untuk menutupi keadaan rambut yang mengenaskan, kumasukkan laptop dan semua buku di dalam ransel, lalu bergegas keluar. Tujuanku selanjutnya adalah mobil. Ya. Aku akan menulis di dalam mobil saja. Sambil menyetel lagu-lagu lama dan berselonjoran kaki di dalam mobil, aku harap bisa membantuku menyelesaikan laporan liputan sialan ini. Entah kenapa, dua jam di dalam kafe ini hanya membikin kepalaku makin sakit. Ini tidak seperti biasanya. Kafe yang sudah jadi langgananku 2 tahun belakangan selalu berhasil membuat tangan dan otakku bekerja dengan kompak. Sudah ribuan liputan lahir di kafe ini. Hari ini, entah kenapa, aku hanya ingin tidur. Wajah editorku yang garang melintas. Cepat-cepat kutelan keinginan tidur.

Tepat saat aku berdiri dan akan bergegas keluar, di situ aku pertama kali menatapnya. Laki-laki indah bermata payung. Garis senyumnya tampak samar, tapi aku seolah-olah ditarik kekuatan besar untuk masuk ke dalam matanya. Lelaki indah bermata payung. Oh, Tuhan. Aku membeku di tempatku berdiri. Apa ini? Laki-laki yang lewat di hadapanku benar-benar indah. Aku yakin, Tuhan sedang jatuh cinta saat menciptakan laki-laki ini.

Jarum jam berhenti berdetak. Kali itu, aku percaya, aku jatuh cinta pada laki-laki bermata payung ini. Sinting!

***

Setelah berhasil menyeret kakiku keluar dari kafe, aku berbalik. Kulihat laki-laki bermata payung tersebut sedang duduk di salah satu meja di sudut kanan kafe. Dia sedang membaca. Aku masih bisa melihat jelas wajahnya. Ia sedang membaca Extracting The Stone of Madnessnya Alejandra Pizarnik. Ia menghirup secangkir kopi hitam. Aku tidak tahu pasti apakah itu tanpa gula atau tidak. Yang aku yakin, dia sekarang sedang tersenyum membaca kumpulan puisi di buku bersampul kuning itu. Garis senyumnya tidak terlalu jelas, tapi aku yakin dia sedang tersenyum. Tuhan, laki-laki indah bermata payung itu sedang membaca buku yang juga aku gilai, sambil menghirup kopi hitam pula! Kebetulan macam apa ini? Aku berbalik. Melipat senyum dalam-dalam. Berharap ini bukan pertemuan terakhirku dengannya.

***

Keesokan harinya, setelah menelan omelan-omelan klasik dari editor, kuputuskan kembali ke kafe itu. Pukul 3 sore. Sama seperti kemarin. Selain ingin menghirup kopi hitam tanpa gula, aku menyimpan harap agar bisa bertemu laki-laki indah bermata payung kemarin. Setelah satu jam duduk menekuri liputan yang tak kunjung selesai, aku mendengar dentingan pintu kafe berbunyi. Oh, tubuhku terkesiap. Laki-laki indah bermata payung itu memasuki kafe. Aku yang duduk dekat dengan pintu, bisa melihat sosoknya dengan amat jelas. Mata itu. Mata payung. Ia mengenakan baju hangat berwarna biru malam, dipadu celana jeans biru langit. Ia berlalu sambil menggenggam buku di tangan kanannya. Kali ini, The Collected Poems milik Zbigniew Herbert. Aku tersenyum tiba-tiba. Kebetulan macam apa lagi ini? Buku itu adalah satu dari sekian buku puisi favoritku. Ia melesat cepat dari hadapanku. Wangi parfumnya yang manis mampir di indera penciumanku. Aku memejam mata, lalu cepat-cepat membuka mata lagi, seolah takut kehilangan sepersekian detik kesempatan untuk menatapnya. Ini gila, bahkan punggungnya pun terlihat indah di mataku. Pagi, kamu benar-benar sinting sekarang!

Ia melesatkan tubuhnya di sofa merah di sudut kafe. Tak lama, pesanan kopinya datang. Ia tersenyum tipis pada pelayan kafe, lalu cepat-cepat kembali tenggelam pada bacaan di genggamannya.

"Pagi, ayo ke sana, ajak kenalan!"

"Duh, dia sedang sibuk membaca, jangan diganggu. Kamu pasti bakalan tidak suka kan kalau diganggu saat membaca? Jangan!"'

"Duh, Pagi, siapa tahu ini hari terakhir kamu bertemu dengan dia. Siapa tahu besok kamu ditendang ke pos halaman desa dan harus migrasi ke tempat lain, ayo kenalan saja!"

"Jangan, Pagi, kamu itu cewek, masa ngajak kenalan duluan?"

Suara-suara di kepalaku makin ramai. Kuputuskan untuk berbalik badan. Besok-besok masih ada. Yang jelas, dia akan datang tepat pukul 3 sore. Besok, aku akan ke sini lagi.

***

Aku akhirnya bisa berkunjung ke kafe ini lagi, setelah 1 pekan aku harus pergi karena ditugasi liputan jauh dari kota. Editorku masih marah-marah. Bulan depan dia ulang tahun, sepertinya aku akan menghadiahinya satu kaplet obat pereda darah tinggi.

Kulirik jam di dinding kafe yang dicat berwarna kayu. Lima belas menit menuju pukul 3. Aku menatap pintu kafe lamat-lamat. Sepekan tidak bertemu dengan laki-laki bermata payung itu, benar-benar membikin kadar warasku berkurang. Entah mengapa, aku benar-benar rindu. Sinting. Hari ini, aku tidak akan memedulikan suara-suara bising di kepala. Masa bodoh, aku akan mengajaknya berkenalan. Tidak peduli apa katanya nanti, aku akan mengajaknya berkenalan. Peduli setan. Aku harus tahu namanya, dan kalau bisa nomor telepon genggamnya pun. Aku, Pagi, perempuan paling tangguh kalau urusan hati. 22 tahun hidupku, tidak pernah aku sesinting ini soal urusan laki-laki. Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Bagiku itu bullshit. Sekarang, aku dihantam karma. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Pada laki-laki indah bermata payung.

Ini gelas kopiku yang ketiga. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Di luar, hujan mulai jatuh satu-satu. Orang-orang berlarian menepi di sepanjang teras toko di depan kafe. Pelayan kafe berlarian ke luar, membuka meja-meja dengan payung lebar. Strategi bisnis yang manis. Orang-orang butuh tempat berteduh, dan butuh minuman hangat di sore yang hujan. Tak diragukan, lima menit setelah meja-meja berpayung dibuka, semuanya terisi penuh oleh orang-orang yang ingin memesan minuman hangat.

Payung. Hatiku kebas. Mengapa laki-laki indah bermata payung itu tak kunjung datang? Apakah ia terjebak hujan di sisi jalan? Atau dia tak akan datang sore ini? Entah mengapa, hatiku tiba-tiba basah. Sedih. Hujan di luar makin deras. Hatiku ikut dikunjungi hujan. Kuputuskan pulang. Kusetir mobilku pelan-pelan, berharap di sisi-sisi jalan, mataku bertumbukan dengan sosok laki-laki indah bermata payung yang kucari. Nihil. Aku kembali dengan lesu.

Setiba di rumah, aku semakin lesu. Kutatap telepon genggamku yang tampak ikut-ikutan lesu. Sebaris pesan pendek dari editorku semakin membikin hatiku makin-makin lesunya.

"Pagi, liputan kamu masuk feature halaman pusat. Mereka suka. Kamu diminta meliput lebih dalam lagi. Besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Bimo bakalan menjemput kamu untuk pergi kembali ke sana. Sebulan di sana cukup, kan? Nanti gaji kamu bulan ini saya kasih bonus lagi deh. Jangan bilang tidak ya, Pagi!" Aku menelan ludah. Aku tidak punya pilihan. Kuusap wajah sambil mengembuskan napas dengan keras. Laki-laki indah bermata payung, akankah kita bisa bertemu, bertukar sapa dan nama?

***

Sudah sepekan aku tidak melihat perempuan itu di kafe ini. Aku mengutuk diri sendiri. Mengutuk ketakutanku untuk mengajaknya berkenalan sejak dulu. Kemarin, aku tidak bisa datang karena hujan menjebakku di tengah jalan. Mobil yang kukendarai tidak bisa bergerak di tengah jalan. Ke mana perempuan itu? Perempuan yang sudah berbulan-bulan mencuri pikiranku, dan karena kebodohanku sendiri, aku tidak pernah bisa mengajaknya bertukar sapa. Aku mengutuk diriku semakin dalam.

Lima bulan yang lalu, itu kali pertama aku melihatnya. Dengan kemeja berlengan panjang berwarna abu-abu dipadu celana jeans berwarna khaki, dan topi abu-abu di kepala, aku melihatnya bergegas memasuki kafe dengan wajah berlipat. Kami bertabrakan di depan kafe. Buku-buku dan beberapa lembar kertas yang ia pegang berhamburan terlepas dari tangannya. Topi yang ia kenakan ikut jatuh. Rambut berombak pendeknya mencuat lucu. Aku tersenyum, buru-buru minta maaf. Ia hanya mengangguk dan mengumpulkan semua buku dan berkasnya secepat kilat. Ia sibuk berbicara di telepon genggam.

"Iya, Pak. Liputannya bakalan jadi sebentar sore. Langsung kukirim deh ke email bapak. Ditunggu ya, Pak, sinyal providerku lagi brengsek banget, Pak, ngirim SMS aja susah banget," suara cadelnya menggelitik telingaku. Sepertinya ia sedang berbicara dengan atasannya di telepon. Apa katanya? Liputan? Apa dia seorang wartawan? Buku-buku yang jatuh tadi, sekilas kuperhatikan ada 2 judul yang akrab di kepalaku, The High Mountains milik Yann Martel dan White Teethnya Zadie Smith. Entah perasaan gila apa, aku sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama pada perempuan berambut ombak ini. Ia berlalu tanpa menatapku.

Sejak saat itu, aku sering mendapatinya di kafe ini. Ia akan datang sebelum pukul tiga sore, menghirup setidaknya tiga cangkir kopi hitam tanpa gula, dan tenggelam dalam buku-buku, atau sibuk mengetik sambil mengerucutkan bibir, tanda ia sangat serius. Sekali dua kali ia akan sibuk berbicara lewat telepon genggam, mengangguk cepat-cepat, dan menulis lekas-lekas di buku kecil berwarna langit miliknya. Rambut ombaknya ikut bergerak lucu, aku tersenyum.

Setiap kali aku mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya berkenalan, selalu saja ia disibuki ribuan hal, yang membikin aku segan untuk menyapanya lebih dulu. Lima bulan bukan waktu yang singkat untuk sebuah pendekatan yang bahkan kamu tidak tahu siapa nama orang yang sedang kamu taksir. Kabar baiknya, aku selalu mendapati ia ke kafe ini sendirian. Tidak pernah bersama kawan, dan tentu saja tidak pernah bersama laki-laki yang terindikasi punya hubungan khusus. Bisa kusimpulkan, perempuan rambut ombak ini sedang sendiri.

***

Sudah dua pecan aku tidak melihatnya. Ke mana perempuan itu? Aku sudah bertekad mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya bertukar sapa hari ini. Aku bertekad untuk tahu namanya hari ini, dan kalau berkesempatan, bisa bertukar nomor telepon genggam akan lebih baik lagi. Jarum jam sudah jauh dari angka 3. Sosoknya tidak tampak juga. Di mana kamu, Perempuan rambut ombak? Apa aku harus menyerah di sini?

***

"Kau akan mengerti bagaimana kumelihatmu, mengagumimu, menyayangimu, dari sudut pandangku~"



Virginia, di tengah musim gugur yang makin dingin.


*Cerita pendek ini terinspirasi dari lagu Tukar Jiwa milik Tulus.







Comments

  1. wah nice ceritanya , lagu tulus memang bikin syahdu ya

    ReplyDelete
  2. Mengingatkan kembali pada cerita cinta satu hari dengan seorang laki-laki yang plat nomer motornya masih saya ingat hehee

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts