Pamit

cr
"Tubuh saling bersandar ke arah mata angin berbeda, kau menunggu datangnya malam, saat kumenanti fajar..."

***



Bagaimana pun, ucapmu, ada cinta yang tidak harus berakhir untuk saling memiliki. Aku menggeleng kuat. Tidak. Jika kau cinta, maka kau harus saling memiliki. Saling menjaga. Saling menguatkan. Itu kataku. Kau membuang napas. Lelah. Katamu, sampai di sini saja. Tak ada lagi yang bisa kita pertahankan. Aku mengangguk lemah. Mengusap air hangat yang tiba-tiba menjalar di pipiku. Kau berbalik. Menjauh. Bahuku terguncang. Aku menangis. Aku lemah. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Aku bertanya tak yakin pada diriku sendiri.

***

Aku menarik koperku dengan lemah. Pukul 2 pagi. Bandara selalu saja sesak. Orang-orang berlalu-lalang dengan ribuan urusan di dalam kepalanya. Sepagi ini, aku sudah harus bertolak menuju negara yang amat jauh. 23 jam perjalanan udara. Memasrahkan diri sepenuhnya di dalam perut burung besi. Memasrahkan takdir.

Kulirik satu bangku panjang yang kosong di sisi jendela ruang tunggu. Pesawat yang kutumpangi akan berangkat kurang dari satu jam dari sekarang. Setelah melewati proses imigrasi yang melelahkan, kupilih untuk sejenak meluruskan otot-otot yang tegang. Kuhirup kopi hitam tanpa gula dari gelas plastik. Kuraih telepon genggam. Tak ada ucapan selamat jalan darimu. Aku mengembuskan napas. Memejamkan mata. Berusaha mengusir semua bayangan-bayangan wajahmu. Menguat-nguatkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.

***


Setelah terombang-ambing di atas udara selama lebih dari 23 jam, akhirnya aku sampai di negara yang amat jauh ini. 12 jam lebih lambat dari tempatmu berada. Di sini pukul 6 pagi. Di tempatmu, matahari sudah ingin berpulang. Aku keluar dari bandara, setelah menyelesaikan semua urusan bagasi. Udara di luar bagasi menamparku. 7 derajat Celsius. Kurapatkan baju hangat dan jaket yang kukenakan. Setelah taksi daring yang kupesan datang, kulesatkan tubuh ke dalam kursi mobil yang empuk. Di kepalaku, ada suara-suara milikmu.

***

Maaf, Pagi. Aku tak bisa. Itu katamu. Kenapa? Itu tanyaku. Kau menggeleng kuat. Tanpa menatap mataku. Kau membuang tatapmu menuju hamparan laut di hadapan kita. Sedetik kemudian, kau sudah berbalik. Meninggalkanku dengan tanda tanya besar di kepala.

Apa hanya karena ini? Karena aku memutuskan untuk melanjutkan studi jauh dari tempat kau berada? Aku bergumam. Memang, hubungan kita tidak seperti yang mereka bayangkan. Tak ada makan malam romantis. Tak ada jalan-jalan berdua ke tempat-tempat menyenangkan. Tak ada ucapan-ucapan sayang yang dilebih-lebihkan. Lalu, apa arti cincin yang sudah kau sematkan padaku? Kau hanya menggeleng. Artinya tak ada. Aku mengerti sekarang.

***

Jujur, aku menangis. Semalaman memelihara cemas dan rasa benci yang sesak di dada. Kau memutuskan untuk  menikahi perempuan itu. Aku menangis seperti perempuan bodoh yang merasa bahwa semua adalah akhir dari dunia. Aku sesenggukan. Dadaku sesak. Ada rupa-rupa perasaan di sana. Sakit. Benci, Kecewa. Dan sedikit rasa beruntung. Kau tanya mengapa? Sebab artinya, Tuhan benar-benar baik. Ia memberi tahu, bahwa kau bukan apa yang aku butuhkan.

Tenang saja. Aku hanya menangis seharian. Meluapkan semua perasaan di dalam dada dan kepala yang sesak. Keesokannya, aku sudah baik-baik saja. Tak ada dendam. Semua sudah dimaafkan. Semua sudah dilupakan.

***

Apakah aku sudah siap membuka hati sekarang? Ya.
Kepada siapa pun kamu, aku baik-baik saja. Selalu baik-baik saja. Mari melepaskan diri dengan baik-baik. Kau telah menemukan. Berbahagialah.

***

"Jangan paksakan genggamanmu, yang berubah hanya tak lagi ku milikmu..."


Virginia, Oktober 2017

Terinspirasi dari lagu Pamit, Tulus.




Comments

Popular Posts