Bagaimana Kutahu


"Bangku kosong sisi jendela, saksi bisu antara kita..."


Aku membalikkan badan. Kau, tepat berdiri di belakangku. Tersenyum tipis. Memamerkan segurat senyum lemah yang patah-patah. Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang. Aku membalas senyummu. Tak kalah patah-patahnya. Ingatanku terlempar ke masa silam.

***

Juni, 1982

Itu kali pertama aku melihatmu. Bus nomor 02. Bangku pojok kanan paling belakang. Duduk tertunduk menatap sepasang kakimu sendiri. Aku tersenyum getir. Semua bangku telah terisi penuh, satu-satunya yang kosong adalah yang ada di sampingmu. Jujur, setengah takut-takut waktu itu, aku meminta izin untuk duduk di sampingmu.

"Boleh aku duduk di sini?" Aku bertanya sambil menunjuk bangku di sampingmu.

"Ah, eh, iya, silakan," kau menjawab cepat-cepat sambil meyingkirkan beberapa buku tebal yang kau geletakkan di bangku yang kuincar. Aku sempat melirik satu judul, Anna Karenina milik Leo Tolstoy.

"Baru pulang kuliah juga, ya?" Aku mencoba membuka pembicaraan. Kutebak waktu itu, kau pasti salah satu mahasiswa baru jurusan sastra, wajahmu cukup familiar. Tebakanku tepat.

"Iya," kau menjawab singkat. Tersisa hening cukup lama waktu itu. Aku ingat betul.

"Ah, ya, kenalkan, aku Akar. Mahasiswa sastra Indonesia tingkat akhir," aku menjulurkan tangan berkenalan.

"Aku Pagi," jawabmu singkat membalas sambutan tanganku. Setelah itu, kau membuang tatapan menuju jendela. Langit sudah saga. Tujuan akhirku masih cukup jauh. Aku ingin berbincang saat itu, tapi kulihat kau sedang memikirkan sesuatu yang lain. Kuputuskan untuk ikut diam. Tak lama, kau mengirim isyarat pada supir untuk berhenti. Kau bergegas turun. Aku menatap punggungmu yang menghilang di balik tikungan jalan. Rambut sebahu berombak yang kau biarkan terurai dimainkan angin. Aku yakin, ini tidak akan jadi pertemuan terakhir kita.

***

Sejak saat itu, aku hapal betul. Setiap Selasa sore pukul 5 kurang 10, kau akan menumpang bus nomor 02. Kebetulan yang indah. Jadwal kuliahku juga selesai di jam itu, dan aku akan menumpang bus yang sama. Kau selalu duduk di bangku pojok kanan dekat jendela. Dan aku, selalu mencuri-curi kesempatan agar bisa duduk di sampingmu. Selalu berhasil.

"Hei, kau senang membaca karya Leo Tolstoy?" Aku membuka percakapan di satu sore. Bus melaju perlahan membelah jalanan kota yang tampak lelah.

Kau menatap mataku lurus. Aku sempat salah tingkah. Bola matamu bergerak-gerak lucu. Anak-anak rambut di jidatmu seperti garis putus-putus yang terlihat cantik di pandanganku.

"Err, iya, Aku suka membaca apa saja sebenarnya. Apa saja. Novel, buku panduan memasak, tips menulis surat yang baik dan benar, atau tulisan-tulisan di pantat truk. Apa saja," kau berujar sambil mengangguk. Aku tersenyum. Kau ikut tersenyum samar.

"Menarik." Aku berujar pelan. Tidak yakin bagian mana yang kusebut menarik. Kebiasaan membaca yang baru saja kau akui, atau sosokmu sendiri.

"Namamu siapa? Maaf, ingatanku buruk sekali kalau soal nama. Maaf," kau menatapku lagi. Ada satu dua anak panah yang meluncur ke dalam hatiku. Seribu kupu-kupu menari di perutku.

"Akar. Namaku Akar," kujawab penuh keyakinan. Bus melaju makin cepat.

"Akar. Namamu bagus sekali. Akar." Kau mengulang namaku dua kali. Kau menyebut namaku dengan sangat lucu. Dengan akhiran huruf R yang samar karena cadel, kau menyebut namaku dengan menggemaskan. Rasa-rasanya, sampai hari ini, kaulah orang pertama yang menyebut namaku dengan amat lucu. Kupu-kupu di perutku menari makin cepat.

***

Bus 02 menjadi tempat kita bertemu setiap Selasa sore menuju petang. Kau akan duduk di bangku pojok kanan sisi jendela, dan aku dengan setia duduk di sebelah kirimu. Kita bertukar banyak cerita. Pelan-pelan, aku mulai tahu banyak soalmu.

Kau yang senang membaca apa saja. Kau yang tidak pernah berniat memanjangkan rambutmu. Kau yang punya 14 ekor kucing di rumah. Kau yang selalu bangun pagi tak peduli pukul berapa kau tidur. Kau yang berbeda dari beberapa teman perempuan yang kukenal.

"Akar, kamu tahu, sepertinya aku dilahirkan di waktu yang salah. Aku lebih cocok hidup di tahun empat puluhan," ujarmu satu waktu, saat bus melesat pelan dan wajahmu disinari warna saga lampu jalanan. Itu satu dari sekian percakapan acak yang senang kita lakukan.

Sekali dua kali, aku mendapatimu di perpustakaan kampus. Tenggelam dalam bacaan dan diam. Di lain kesempatan, kita bertemu di koridor kampus, bertukar senyum dan kabar. Selebihnya, percakapan yang jauh akan kita lakukan di bus nomor 02.

***

Satu sore, aku beranikan diri mengajakmu kencan. Iya. Itu ajakan kencan. Hanya entah kau sadar atau tidak.

"Pagi, kamu ada acara Sabtu sore nanti?" Aku bertanya setengah cemas. Takut kau menjawab iya.

"Sabtu sore, ya? Sepertiya tidak ada. Kenapa, Akar?" Kau menjawab tanpa ada indikasi sadar kalau aku sedang ingin mengajakmu kencan.

"Ah, begini, di alun-alun kota Sabtu sore nanti, akan ada pertunjukan musik teman-temanku, kalau kau mau, kita bisa pergi sama-sama. Kalau misalnya kau bosan, nanti kita bisa melipir cari makan di saputaran alun-alun, atau kalau misalnya kau tidak suka makan di sana, kita bisa lihat buku di toko buku bekas di jalan dekat alun-alun, tidak jauh, kok, hanya dua blok dari alun-alun," aku menjawab cepat. Suaraku setengah bergetar. Kau tertawa memamerkan gigimu. Ini kali pertama aku melihatmu tertawa seperti ini.

"Haha, kamu lucu sekali, Akar. Kenapa bicara cepat-cepat begitu? Aku bukan tipe perempuan yang takut mencoba hal baru. Melihat pertunjukan musik sepertinya menyenangkan. Nanti kita langsung ketemu di gerbang alun-alun kota, ya," kau menjawab masih dengan sisa tawa. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

***

Sore itu, aku melihatmu berdiri di samping bangku biru di alun-alun. Kau mengenakan baju terusan selutut berwarna biru langit. Rambut berombakmu kau urai seperti biasa, kali ini, ada bando berwarna senada di kepalamu. Kau menoleh. Melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tanganmu, setengah berlari tergesa menghampiri. Kau tersenyum.

Hari itu berlalu dengan manis. Setelah menonton pertunjukan musik selama 2 jam, kita kemudian melipir mencari penganan di pinggir alun-alun kota. Bertukar banyak cerita. Bercerita banyak hal. Aku memperhatikan anak-anak rambut yang jatuh di jidatmu. Alis lebat yang tumbuh di atas mata jenakamu. Aih, kupu-kupu kembali ribut di dalam perutku.

***

Tak ada alasan mengapa aku pergi. Mengapa kau pergi. Semua terjadi begitu saja. Menyelesaikan studi, aku pergi jauh menuju kota lain. Membawa sedikit harapan agar bisa kembali padamu. Satu dua surat kukirim menuju rumahmu. Dua tiga balasan kuperoleh dengan kata yang patah-patah.

***

Oktober, 1986

Hari itu hujan turun lebat. Jendela kamarku penuh uap. Dingin. Penuh gigil. Aku menggenggam satu pucuk kertas berwarna merah darah. Ada namamu berukir tinta emas di sana. Dan ada nama seseorang lagi di sana. Aku mengutuk pelan. Ada sungai hangat mengalir di kedua pipiku. Aku mual.

***

Januari, 2017

Aku memasuki ruang pameran dengan langkah perlahan. Memerhatikan satu-satu tulisan tua yang dipajang di sana. Ada nama yang menarik mataku. Senyum Pagi. Di dalam bingkai abu-abu, ada sepucuk surat di sana. Surat yang Tak Sampai. Mataku menjalari tulisan tangan yang amat kukenal. Milikmu.

Aku berharap tulisan ini sampai padamu, Akar.
Sungguh.
Ada banyak ingatan tentangmu melintas akhir-akhir ini.
Aku perempuan.
Aku terlalu takut menyampaikan rasa ini lebih dulu.
Maaf.
Kau, aku tak bisa membaca apa sebenarnya arti kedekatan dan surat-surat panjang yang selama ini kita sampaikan satu sama lain.
Arti pandanganmu,
Senyum patah-patahmu,
Maaf, Akar,
Aku terlalu takut. Aku perempuan. Aku terlalu lemah.
Entah kapan, kuharap surat ini akan sampai padamu

***

"Bagaimana kutahu, ada arti di balik tatap mata itu bukanlah sekadar tatap mata biasa. Akhir cerita ini bisa jadi berbeda..."




Virginia, Oktober 2017

*Cerpen ini terinspirasi dari lagu Bagaimana Kutahu milik Maliq & D'Essentials




Comments

  1. Waaaah, keren cerpennya. Aku menikmati banget

    ReplyDelete
  2. Saya suka mendengarkan Maliq & D'Essential, tapi baru kali ini tahu judul Bagaimana Kutahu. Meluncur dan mau mendengarkan musiknya ah :D
    Btw ceritanya bagus, entah fiksi atau nyata, tapi emang yg namanya jodoh memang Tuhan yang mengatur ya... TFS

    ReplyDelete
  3. Bah, Kioooo! Sungguh berhasil membuatku baper! T-T Intinya si Akar dan Pagi tidak bersatu, ya, persis seperti videonya. Apa rasanya menjadi Akar yang membaca surat permohonan maaf Pagi tiga puluh tahun kemudian? Sungguh, ah, sedih... :"

    ReplyDelete
  4. Mencintai diam-diam adalah cara terbaik untuk menjadikan kita lebih mengerti arti cinta dan sakit hati secara bersamaan.

    ReplyDelete
  5. Aku juga suka sekali sama cerpenx... jempol dah...Aku suka sama pemilihan kata dan alur ceritax... Ada sambungan lg gak ya???

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts