Catcalling; Pelecehan Seksual yang "Dimaklumi"

cr



Banyak dari kita, baik itu perempuan, khususnya lelaki, yang belum paham soal apa itu catcalling. Jika kita mencoba menengok maknanya dari situs pencari di internet, maka akan ditemukan arti bahwa catcalling merupakan perlakuan bertendensi seksual, baik itu berupa bersiul, berseru, berkomentar, kebanyakan dengan nada menggoda, baik terhadap perempuan, lelaki, atau pun gender yang lain.

Bentuk catcalling bisa bermacam-macam. Di negara-negara barat misalnya, catcalling ini bisa berupa pujian tentang fisik seseorang, sampai –maaf- mengajak berhubungan yang tidak semestinya. Di Indonesia, bentuk catcalling kebanyakan berupa siulan dan juga godaan, dan hal ini lebih sering dialami kaum perempuan yang dianggap “memancing” dan tidak punya daya untuk melawan.

Penulis memberi judul tulisan ini sebagai pelecehan seksual yang “dimaklumi”, sebab bukan hal asing lagi bahwa masyarakat kita masih menganggap bahwa catcalling merupakan kegiatan iseng yang tiada maksud untuk melecehkan, dan bagi siapa saja yang mempermasalahkan hal tersebut, akan dianggap sebagai kaum yang berlebihan.

Padahal, menengok sebuah riset yang dilakukan oleh Hollaback!, sebuah lembaga anti pelecehan seksual yang dirilis tahun 2015 kemarin menunjukkan, 84 persen perempuan pernah menjadi korban catcall. Hampir semua perempuan yang pernah menjadi korban catcall sepakat bahwa catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual verbal yang bisa menyakiti diri mereka sebagai perempuan, atau bahkan akibatnya bisa lebih jauh lagi.

Survei psikologis yang berbasis di New Jersey pun turut menekankan bahwa catcalling bisa menyebabkan korbannya melakukan penilaian atas diri mereka tanpa sadar, seperti mereka menilai sebuah benda. Sang korban akan mengumpamakan dirinya sebagai sebuah benda, bukan sebagai seorang manusia utuh dan cerdas. Lebih jauh lagi, catcalling pun bisa menimbulkan perasaan takut yang berlebihan serta rasa tidak aman dalam berbagai gradasi, karena korban, khususnya kaum perempuan, tidak pernah tahu, apakah “keisengan” tersebut akan berbuah tindakan yang lebih mengerikan atau tidak dari pelaku.

Lebih-lebih, catatan dari Komnas Perempuan menyatakan bahwa di tahun 2016 kemarin, tingkat pelecehan terhadap kaum perempuan semakin meningkat, dan tidak sedikit di antaranya diawali dengan perlakuan catcalling. Komnas Perempuan pun turut merinci aktivitas yang termasuk di dalam catcalling; bersiul, main mata, ucapan bernuansa seksual, hingga gerakan sampai isyarat yang menuju ke arah pelecehan seksual. Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)pasal 289-296, pelaku pelecehan seksual dapat dijerat dan dihukum dengan pasal pencabulan.



Perempuan “Mengundang”

Ini adalah excuse paling sering terdengar jika sudah terjadi pelecehan seksual, termasuk catcalling yang berakhir dengan pemerkosaan, misalnya. Perempuan selalu menjadi objek yang disalahkan, termasuk oleh masyarakat luas yang menjadi penonton. Mulai dari pakaian yang menurut mereka terlalu terbuka, menjadi alasan kuat bahwa pantas saja perempuan tersebut mendapatkan perlakuan pelecehan seksual. Ini sangat terdengar miris, sebab mau bagaimana pun gaya pakaian perempuan, dari yang “terbuka” hingga menutupi seluruh lekuk badannya, tidak dapat dipungkiri mereka tetap saja menjadi korban catcalling. Mirisnya, perempuan dengan pakaian lebih tertutup mendapatkan perlakuan catcalling dengan siulan atau panggilan lebih agamis, dengan salam contohnya.

Kita, sebagai masyarakat, terkhusus penulis yang juga seorang perempuan, merasa hal ini sangat tidak benar. Belum lagi ada yang beranggapan bahwa perlakuan catcalling diterima oleh perempuan, sebab mereka sendiri yang seolah-olah minta untuk diperlakukan demikian. Ironis, tapi itu kenyataannya.



Catcalling Tak Bisa Dipandang Remeh

Di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika, perlakuan catcalling telah resmi menjadi sebuah tindak kejahatan dan digolongkan ke dalam kejahatan berdasarkan misoginis (pandangan merendahkan perempuan) daftar hate crime (kejahatan berdasarkan kebencian). Bahkan, definisi misoginis yang mereka golongkan lebih dari sekadar catcalling. Di sana, mereka menerapkan aturan dilarang mengambil foto perempuan tanpa persetujuan dari perempuan tersebut, sampai pada larangan mengirimkan pesan pendek tanpa persetujuan sebelumnya. Betapa mereka telah paham betul bahwa catcalling merupakan suatu perbuatan pelecehan seksual yang tidak bisa dipandang remeh dan sebelah mata.

Bagaimana dengan Indonesia? Penulis berharap, semoga nanti akan lahir peraturan tegas yang menindaki perbuatan catcalling yang masih dianggap remeh ini. Peraturan yang akan menindak tegas para pelaku catcall, baik itu perempuan maupun lelaki. Pendidikan saling menghargai sesama manusia harus lebih diperkuat lagi, dimulai dari rumah dan keluarga masing-masing. Pemberantasan pengangguran juga harus makin diseriusi, sehingga orang-orang lebih menghargai waktu mereka untuk bekerja, bukan dihabiskan untuk perlakuan catcalling. Sekarang memang, kita sudah bisa melaporkan perlakuan catcalling ke pihak berwajib, tapi apakah hal tersebut akan langsung ditindaklanjuti? Entahlah. Sebab itu, kita butuh peraturan tegas yang mengatur soal catcalling. Sebab diam tidak selamanya emas! (*)


*Tulisan ini dimuat pada halaman Publik Interaktif harian Luwuk Post, edisi 3 April 2017.

Comments

  1. Padahal jelas-jelas ga bisa didiemin nih yg beginian yaaa

    ReplyDelete
  2. gak boleh kayak gini terus tau yaaa

    ReplyDelete
  3. Udah beberapa kali jadi koran catcalling, ironisnya sama Bapak2 deket kostan *kesel kadang rasanya pengen nyamperin terus gampar mulutnya pake high heels

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts