Perempuan dan Standar Kecantikan

cr


PEREMPUAN adalah makhluk kompleks yang diciptakan Tuhan. Kompleksitas di dalamnya termasuk urusan fisik, di mana perempuan memiliki fungsi organ inti yang tidak dimiliki laki-laki, sampai kompleksitas perasaan. Sering sekali rasanya mendengar candaan soal betapa yang mengerti perasaan perempuan hanyalah Tuhan dan dirinya sendiri. 



Perempuan juga adalah makhluk yang senang dengan keindahan dan kecantikan. Itu mutlak. Sebagai perempuan, penulis mengakui hal tersebut. Namun, semakin ke sini, di era teknologi yang makin bukan main canggihnya, menjadi perempuan semakin terasa sulit. Kita merasa sedang digempur habis-habisan oleh standar kecantikan yang diciptakan oleh berbagai situs serta majalah fashion. Belum lagi para perempuan, sadar atau tidak, tengah mengalami tekanan visual yang diciptakan oleh media-media televisi, dan juga media sosial serupa Instagram dan kawan-kawannya. 



Apa kata mereka soal kecantikan? Rambut hitam legam, panjang, dan lurus, badan tinggi semampai, bibir merekah merah, pipi yang mulus, dan jangan lupakan kulit bak pualam. Semua adalah paket kecantikan sempurna yang sedang dipromosikan secara besar-besaran kepada semua perempuan di seluruh dunia, terutama di Indonesia. Tidak percaya? Silakan tengok televisi Anda barang sejenak, nantikan iklan komersial yang tayang di sana. Dua menit, lima menit, sepuluh menit, semua hampir bernada sama. Di semua stasiun televisi tempat Anda mencari penghiburan. Bunyinya senada. Kurang putih? Pakai krim ini. Rambut kusam dan meranggas? Oh silakan coba pencuci rambut ini. Badan kurang tinggi dan lemak bertaburan? Jangan ragu menenggak pil ini atau minum susu itu. Belum lagi iklan di media sosial yang bunyinya senada dan miris, mulai dari menwarkan pemutih kulit sampai pembesar –maaf- aset perempuan yang lainnya. Menengok iklan di televisi atau di media sosial, rasa-rasanya bisa disimpulkan kalau mereka, para penawar produk tersebut, merasa perempuan Indonesia sedang krisis kecantikan. 



Bagaimana respon para perempuan? Macam-macam. Ada yang menanggapinya dengan santai, tapi tak sedikit juga yang mulai kalang kabut. Mulailah mereka mencicipi produk ini itu, menggosok kulit mereka dengan segala rupa produk, dan merasa makin tidak cantik. Yang santai pun, lama-lama merasa mulai terpengaruh. Apa sebab? Karena semua sugesti berupa iklan ataupun standar kecantikan yang diciptakan lingkungan sekitar, mulai diputar terus menerus seperti lagu lama, dan menjadi sugesti yang mengerak di alam bawah sadar para perempuan. 



Ya. Lingkungan sekitar turut menciptakan standar kecantikan para perempuan. Tak jarang ada banyak sekali orang yang mulai “meneror” hal tersebut kepada anak yang masih kecil. Dipanggillah mereka dengan sebutan keriting, hangus, endud, dan lainnya. Tanpa sadar, itu juga menjadi bentuk bullying dan meciptakan krisis percaya diri seiring dengan tumbuh besarnya si anak menjadi remaja atau perempuan dewasa. Ini kenyataan, sad truth. Secara tidak sadar banyak yang turut menciptakan perempuan-perempuan yang tumbuh menjadi tidak percaya diri dengan segala standar yang dibuat. 



Faktanya, standar kecantikan di setiap sudut dunia berbeda-beda. Di Jamaika misalnya, perempuan haruslah bertubuh besar dan berotot baru disebut cantik. Sedang di Cina dan Korea, mata besar dan bulat merupakan standar kecantikan seorang perempuan, sedang dalam garis genetik, mereka terlahir dengan mata yang kecil. Maka bukan rahasia lagi jika kita mendengar bahwa industri operasi plastik di sana tumbuh subur dan laku keras. Di India dan Indonesia, kulit putih bersih adalah standar kecantikan yang diciptakan masyarakat sekitar. Sedang sebagai perempuan Asia Tenggara dan garis keturunan Melayu, kita terlahir dengan kulit kuning langsat atau medium dan sawo matang. Tak jarang, bentuk ejekan tidak cantik disematkan kepada peempuan dari Timur Indonesia karena kult mereka yang medium to dark. Sedang di Eropa dan Amerika? Perempuan berlomba-lomba membayar mahal salon kecantikan untuk tanning atau menghitamkan kulit. Bukankah ini terdengar sangat lucu? Lucu dan miris dalam satu ketukan. 



Industri riasan atau make up pun tak lepas dari pengaruh standar kecantikan ini. Kurang merasa percaya diri, semua perempuan berlomba untuk memakai riasan yang bahkan membuat mereka menjadi orang lain. Lipstik aneka warna, polesan pemerah pipi, riasan mata, dan sebagainya. Bukan, tulisan ini bukan bersifat sinis kepada produk riasan. Intinya, selama perempuan merasa bahagia mengenakan riasan tersebut, maka itu tidak pernah menjadi masalah. Namun ketika mereka mengenakannya karena merasa ada tekanan visual dari luar? Itulah yang menjadi permasalahan. 



Kepada semua perempuan di Indonesia, di Luwuk khususnya, marilah tetap merasa cantik. Perkaya isi kepala dengan nutrisi otak dan juga bacaan yang berkualitas. Bergabunglah dengan lingkaran orang-orang positif yang bisa membangun kepribadian kita menjadi lebih terasah. Carilah lingkaran yang memang menghargai dan menilai kita sebagai perempuan karena kualitas isi kepala, bukan sebaliknya. Apakah ini kedengaran klasik? Tak masalah. Semua perempuan diciptakan cantik, dan tentu saja berbeda dari satu dan yang lainnya. Tak ada tolok ukur untuk hal tersebut. Merawat diri, berolah raga, dan tetap merasa bahagia adalah bagian paling penting. Cantik itu relatif, dan jelek itu tidak mutlak. Mari merasa bahagia sebagai perempuan! (*)

Opini ini pernah termuat di Luwuk Post edisi Senin, 16 Januari 2017


Comments

  1. Aku pribadi sebagai perempuan, buat aku cantik itu ya cukup merawat apa yang kita punya, sisanya hati dan segala yang tak terlihat justru penting untuk terus diperbaiki :D hehehe *asal ngoceh*

    Salam,
    Oca

    ReplyDelete
  2. Aku si termasuk salah satu cewek yang mencintai apa yang Tuhan kasih buat aku, jadi gak terlalu mempedulikan standar di masyarakat yang gak ada abisnya deh kalo mau diturutin :D

    Salam,
    Pink

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts