Berbicara dengan Diri Sendiri

Halo!
Halo.

Kamu seperti pesakitan akhir-akhir ini!
Oh, ya? Masa?

Caramu berkilah seperti menjawab pertanyaan saya.
 Kamu kan saya!

Baiklah. Lalu kenapa kamu seperti pesakitan belakangan ini?
Entahlah. Rasa-rasanya saya tidak perlu menjawab panjang-panjang, kan? Kamu paham itu.

Hei, lalu untuk apa kamu memanggil saya sesiang ini, di waktu mata sedang kantuk-kantuknya? Kamu menarik saya duduk berhadap-hadapan untuk bicara. Maka bicaralah!
 Baiklah. Kepala saya sedang disesaki begitu banyak beban mungkin. Kamu tahu kan, tak genap sebulan sejak saya resmi menjadi alumni kampus, saya sudah menyandang status karyawan. Menyenangkan kedengarannya. Tapi seperti ada lubang di hati saya. Entah. Mungkin seperti terlalu cepat, atau juga yang lainnya. Saya tak paham benar.

Ah, kasihan sekali kamu!
Hei, jangan mengasihani diri sendiri.

Haha, benar juga. Lalu, apa yang sedang mengganggumu sesiang ini, sampai kamu harus memanggil saya berbicara --yang sepertinya dalam?
Tidak ada. Sunyi saja. Sekarang sedang jam istirahat kantor. Hanya deru pendingin ruangan yang menemani saya di sini. Dan, lagipula saya paham, kamu tak akan mampu menolak ajakan saya.

Kamu benar-benar orang yang optimis ya!
Tentu saja. Meyakinkan diri sendiri di saat situasi sedang terpuruk adalah obat paling mujarab.

Curhat colongan! Kamu sedang terpuruk? Masalah apa?
Ups.

Ayolah, Ki!
Sebentar.

Kamu selalu pandai mengelak. Ada apa? Persoalan apa? Cinta.
Kamu selalu sok tahu.

Nah? Lalu?
Saya tidak punya masalah apa-apa soal cinta.

Dan, kamu tahu, kamu tak akan pernah sanggup untuk membohongi saya.
Huh. Menyebalkan berbicara dengan orang sepertimu.

Ayolah!
Oke. Pendek saja ya. Menyesakkan memang. Tapi, saya akan mencoba jujur, daripada lubang di hati semakin menganga, itu akan menjadi sangat tidak lucu, kan?

Benar! Berbicaralah. Lanjutkan.
Semoga kamu paham. Saya merasa sesak. Seolah-olah ada dua batu sebesar hamparan gunung yang menghimpit dada saya. Saya rasa-rasanya ingin berteriak. Kemudian menghilang.

Jangan! Kamu masih bakal dibutuhkan banyak orang.
Orang? Iya, memang. Tapi bukan dia. Dia sepertinya sudah terlanjur benci. Dan, memang sepertinya dia seolah-olah ingin menghempas semua perasaannya. Saya bingung harus berbuat apa. Mungkin, saya sebaiknya menarik diri untuk keluar dari lingkaran yang sudah kami berdua buat.


Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?
Entah. Saya selalu bingung jika dihadapkan dengan urusan perasaan. Saya bingung mau bertindak atau mengambil langkah bagaiamana. Saya paham saya harus bersikap tegas. Terhadap apa yang saya rasakan. Terhadap apa yang bakal saya hadapi. Dan juga terhadap apa yang saya amini sebelum-sebelumnya.

Kamu berceloteh tanpa arah. Sudah makan siang, kan?
Pertanyaanmu membuat saya mengingat dia lagi.

Hei, haha, mengapa kamu menjadi begitu sentimentil?
Maaf.

Lalu?
Lalu apanya? Saya memutuskan untuk diam. Membiarkan skenario yang telah Dia buat mengambil peran sepenuhnya. Saya mungkin terlampau lelah. Saya malas menghakimi apa-apa sekarang. Lebih baik mengamini apa-apa yang baik saja. Kan?

Baiklah. Kita ganti topik mungkin lebih baik.
Yap. Akan lebih menyenangkan jika kamu punya topik pembicaraan yang menarik untuk saya respon.

Hm, menyenangkan di tempat kerja barumu?
Sejauh ini ya, walaupun saya belum punya banyak hal yang bisa saya kerjakan di sini. Tapi, ini jauh lebih baik kan daripada sekedar duduk diam di rumah sambil menyaksikan acara murahan di televisi dan mengunyah camilan? Tidak sehat.

Haha, saya setuju. Lagipula berhitung ini sebagai pengalaman.
Iya. Iya.

Jangan mengulang-ulang jawabanmu.
Hih, kamu masih saja emosian.

Kamu kan saya?
Saya rasa kita berdua sudah sinting!

Berdua? Hei!
Oke. Kita; saya dan kamu; seorang diri.

Nah!
Iya dong.

Jawaban dengan bunyi seperti itu kedengaran sangat narsis.
Haha, telinga dan perasamu saja yang terlalu sensitif.

Baiklah. Sudahi saja sampai di sini. Besok-besok kita sambung lagi!
Baiklah, sudahi saja sampai di sini. Besok-besok kita sambung lagi!



14:18, Jawa Pos National Network's Office.

Comments

Popular Posts