Kaleng Surat

"Kring.."

Suara ketukan pintu dari Pak Pos membuat saya tersentak kaget. Ini surat kedua darimu, Tuan. Datang dengan sampul berwarna biru gelap dengan gambar kartun Maruko Chan kesukaan saya, hasil lukisan tanganmu sendiri. Kuperhatikan dengan seksama, amplop berwarna biru tadi pun hasil buatan tanganmu juga. Ah, ya, saya ingat, sore itu, hampir gelap, ketika garis kemerahan menyemburat di batas cakrawala, kamu berkata pada saya perlahan, sangat perlahan hingga hampir tak terdengar bersaing dengan debur ombak.

"Matamu seperti palung terdalam lautan ini. Biru pekat. Menenangkan, tapi bisa saja menenggelamkan." Kamu berucap lirih.
"Apa?" Tanyaku tanpa menatapmu.
"Matamu dalam. Menenggelamkan. Saya seperti jatuh sesak di sana, tapi sesak bahagia. Rasanya enggan ingin pulang." kamu berujar lebih keras. Saya tertawa sambil memerhatikan alis ulat bulumu, seraya menonjok pelan bahu kananmu. Kamu tahu? Sore itu adalah salah satu dari sore terbaik yang pernah saya punya.

***
Saya merobek ujung sampul surat. Ada dua lembar kertas kecokelatan terlampir di dalamnya. Tak sabar, saya segera merogoh dan membacanya. Duh, Tuan, tulisan tanganmu kenapa selalu rapi dan indah begitu, sih? Ini yang selalu membuat saya iri padamu. Saya membacanya dalam diam, sambil sesekali menyesap segelas cokelat hangat. Hari sedang hujan, dan ternyata, sepucuk surat darimu dan segelas cokelat hangat menjadi teman terbaik di tengah rinai.



Hujan; dan saya sedang merindui kamu.

Comments

Popular Posts