Bagaimana Kita Mampu Melupakan?

“If you don't know history, then you don't know anything. You are a leaf that doesn't know it is part of a tree. ”  ― Michael Crichton



Handphone saya berderit pelan. Sebuah pesan pendek masuk, dari sahabat saya, Lista, yang menanyakan persiapan saya sudah sejauh mana. Iya, hari ini kami akan berkunjung ke Museum Kota Makassar yang sedang memperingati hari warisan dunia atau istilah kerennya World Heritage Day.

Iya, kamu tunggu saya di depan gerbang kompleks. Begitu kira-kira jawaban saya terhadap pesannya. Pukul lima belas kurang, kami berdua bertemu di gerbang. Setelah bersalaman kemudian cipika-cipiki seraya koprol keliling kompleks, kami kemudian bersiaga menuju tempat penyetopan angkutan umum. Di sinilah kejadian absurd pertama terjadi.
"Kamu tahu kan harus naik angkot apa?" Lista mengernyit menatap ragu pada saya.
"Haha, iya pastilah. Saya sudah BBM teman tadi malam, bertanya lokasi dan angkot apa yang harus kita naiki." Jawab saya penuh keyakinan yang mengerikan menakjubkan.

Lalu kami mulai menyetop angkot pertama. Bertanya dengan yakin mengenai lokasi dan, eng ing eng, sopirnya sama sekali tidak ngeh soal tujuan kami. Keringat dingin mulai bercucuran, lalu air mata kami mulai mengalir deras takut-takut kalau kami terlambat ke lokasi dan melewatkan satu rangkaian acara. Ah, ya, sekedar informasi, kami adalah dua makhluk abad dua puluh satu yang sangat tergila-gila soal apapun yang berbau tempoe doeloe, entah itu pakaian, cerita, kisah cinta dan sebagainya.
Singkat cerita, tiba-tiba salah seorang teman saya menelepon dan memberitahu direksi yang jelas soal apa yang harus kami lakukan agar bisa sampai di sana. Lega? Tentu saja. Akhirnya kami mendapatkan angkot yang tepat dan naik sambil cekikikan. Inilah akibatnya kalau ke mana-mana selalu naik motor dan akhirnya buta arah saat ingin mengambil keputusan soal sopir angkot mana yang ingin dijadikan teman hidup ditumpangi.

Di dalam angkot, kami selalu heboh. Saling melirik dan komentar soal pakaian kami. Sandal gunung yang sangat tidak masuk akal digunakan ke acara yang akan kami kunjungi tapi itulah gaya kami. Usahlah saya, pakaian saya normal sahaja. Lista? Jangan tanya, dia dengan tingkat kepedeannya yang bisa menandingi tinggi Puncak Himalaya itu asik memakai jaket tebal sepanjang paha dengan jeans yang aduhai. Oke, saya pengen ketawa. :D

Di angkot kami selalu lirik kanan kiri takut-takut kalau tempat tujuan kami terlewati, padahal itu tak seharusnya kami lakukan karena Si Bapak Sopir sudah berjanji untuk mengantar kami sampai ke pelaminan taman yang terletak tepat di sebelah museum. Kami sok-sokan bertanya ketika melihat sebuah taman yang dilewati dengan kecepatan kencang,
"Bukan yang tadi ya, Pak Sopir?"
"Bukan, masih jauh." Jawab Si Sopir dengan tampang seperti ini:

Tampang meremehkan yang artinya kira-kira, "Ya keleus elu ga gaul amat!"
Dan kami pun gubrak.

Ternyata, angkot tidak bisa melewati jalur jalan depan museum, sehingga kami diturunkan di jalan yang bercabang serupa huruf Y yang ketika ingin mencapai museum kami harus menyeberang jalan, Alamak, bayangkan saja ada tiga jalur jalan yang dipadati kendaraan dan kami harus menyeberang. Bersyukur, seorang tukang becak tanda-tandanya ingin menyeberang juga, dan kami dengan riang gembira dan hati suka cita mengikuti bapak tukang becak di samping untuk menyeberang jalan. Voila, akhirnya kami sampai di tempat tujuan dengan selamat -walau sebelumnya hampir salah masuk ke gedung perkantoran jaringan apalah itu-. Huah.

Acaranya seru. Banyak yang bisa diihat. Dipelajari. Diamati. Dan tentu saja dijadikan objek selfie akut kami. Haha...

Acara dibuka dengan nyanyian merdu dari The 'Indonesia Tanah Air Beta' Guy. Suaranya bikin merinding . Gila!

Ini pencerita sejarahnya. Dia senior saya, Kak Arif. Ceritanya sambil main Sinrili' keren banget.:)
Lalu kami lanjutkan berkeliling-keliling museum. Melihat jejak-jejak peninggalan masa lampau. Seperti ikut terbawa suasana, saya merasa seperti hidup di zaman di mana oknum penjajah masih berseliweran di sana-sini. Merasakan bahwa betapa menegangkannya hidup di waktu itu. Berlarian, menyumpal kuping dengan karet agar tidak tuli mendengar letusan meriam, tidak menikmati detik-detik bangku sekolah dengan nyaman, dan tentu saja tidak bisa menulis blog seperti apa yang saya lakukan sekarang ini. Benar-benar masa yang sulit.

Tapi, bagi saya pribadi, saya sangat mencintai hal-hal mengenai masa lalu tersebut. Pakaian-pakaiannya, sepeda ontelnya, radio tuanya, laki-laki gagah yang membawa bambu runcing melawan penjajah -wis, ndak kayak sekarang bawanya mic sambil jejogetan ndak jelas di panggung beramai-ramai- dan semuanya. Orang-orang terdekat saya tahu tentang kegilaan saya terhadap hal-hal seperti ini. Sebenarnya ini berawal ketika saya duduk di bangku SD, Bapak selalu mencekoki saya dengan bahan bacaan buku-buku yang ditulis oleh N.H Dini, atau penulis luar negeri yang setingan tulisannya juga soal zaman lampau, Mark Twain.

Tjakep!!! >.<

World Heritage Day yang ditetapkan UNISCO jatuh pada tanggal 18 April setiap tahunnya.

Hasil tanaman yang diincar penjajah; pala, padi, cengkeh, dan kayu cendana.

Lupa nama pedangnya apa, ndak nyatet. Tapi begitulah, sifatnya pusaka.
Koleksi uang zaman dahulu. Koinnya ciamik-ciamik nampaknya!
Ratu Wilhelmina. Ini profilnya keren.
Sedang serius membaca soal tahun pembangunan museum.
Melihat beberapa potret dalam museum.
Lista yang sedang berpose bersama manekin pengantin dengan pakaian adat Baju Bodo bersama manekin Passappi' (dayang-dayang)
Nemu ini di tangga pas mau naik ke lantai dua. Iya, fotonya miring. -_-
Miring lagi. Ini di lantai dua, tempat ruangan pengantin. Perhatikan gelasnya, sudah sangat uzur.
Ruang rapat. Semuanya serba tua. Kursinya besar-besar. Ah, ya, dalam bahasa Belanda ruang rapat disebut Vergadering Kamer
Ish miring lagi. Kyaaa, pokoknya yang penting sepeda onthel. Keren kan?




Kursinya cantik. Besinya kuat sekali. #apose

Ah, iya, kursi di atas itu jadi semacam photoboot. Sekali foto dan cetak lima belas ribu rupiah sahaja. Dan, Lista dengan maha pedenya menuturkan niatnya untuk berfoto di sana, dan saya dengan bodohnya menerima. Haha, tapi seru sih, hasil fotonya hitam putih. Ketika pengambilan gambar kami tersenyum penuh khidmat dan seketika ditegur fotografernya,

"Mbak, kalau foto tempo dulu ndak ada yang senyum."

Alhasil kami pun berfoto dengan tampang menahan tawa dan hasilnya seperti wajah gadis pribumi yang dipaksa menikah dengan penjajah Belanda tua demi melunasi hutang orang tua. :D

Maaf mukanya saya coret-coret. Ini hasil fotonya. :D
Setelah mutar-mutar, menjelang Magrib kita pulang. Banyak sekali hal yang didapat hari ini. Belajar tentang sejarah, menjadikannya pembelajaran agar semakin lebih baik ke depannya. :)

Kontrakan, 19:59

Comments

  1. Pastinya sangat berkesan apalagi benda yang bersejarah difotonya.

    Dimana ada hal lain yang tak bisa diungkapkan dalam hal itu.

    Keren deh momennya. Hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts