Rintik Pagi yang Selalu Kau Rindu

Subuh menggeliat. Satu-dua suara dari menara masjid mulai bersahutan membangunkan kaum yang masih terhimpit hangatnya selimut. Ah, hujan masih setia merundung kota kami hingga pagi ini. Kembang sepatu di beranda rumah basah kuyup bahagia. Saya merenung. Betapa saya merindukan tujuh tahun silam. Saat hujan dan saya bersiap dengan seragam putih biru saya, kau mendecak dalam dan siap mengantar saya menunggu angkot dengan payung besar tiga warnamu. Tak lupa sebelum itu kau menyeduhkan saya secangkir teh di gelas bergradasi krem. Berturut-turut kau rapikan sisiran rambut serta dasi biru panjang milik saya. Pun melihatmu mensejajarkan kartu-kartu patui yang kau sebut pulos di dekat jendela membuat saya mafhum, kau cinta pada hujan. Teramat.

Mak tua, ini sudah tahun keberapa kau tak menyaksikan hujan di kota kami? Sudah berapa lama? Apa di sana hujannya jauh lebih indah dari kota kami? Di menit ke sepuluh saat ini, sungguh saya rindu. Saya merindui bau dastermu yang terpapar uap setrika bara yang beraroma khas. Pun saya rindu bunyi kunci almari yang kau simpan di saku dastermu saat kau berjalan. Saya rindu tatap mata teduhmu ketika lagi-lagi saya menjadi juara kelas. Dan yang paling saya rindukan adalah ketika hujan datang, kau setia menatap ketukan rintik yang mengenai kaca jendelamu.

06.12. Hujan. Rindu almarhumah R. Sululing, mamak tua terbaik dalam hidup saya.

Comments

Popular Posts