Surat Terbuka Untuk Bapak

Saya suka memerhatikan raut wajahmu, gerusan urat di wajah tua namun teduhmu, seolah bercerita tentang sejuta cerita hidup yang pernah kau lewati. Pun jemari dan lenganmu yang kokoh, seperti menjelaskan bahwa sungguh hidup ini keras. Bola matamu yang hitam serta jajaran alis matamu yang pekat dan tebal melukiskan ribuan cinta yang siap kau torehkan dalam hidup saya.

Kau sosok pendiam. Pecinta angka. Penggila sastra. Pengagum semua ilmu pengetahuan. Jujur, tiap mendengar kisah kau berjuang demi mencicipi bangku sekolah, saya menjadi malu. Malu terhadap diri saya yang terkadang bermalas-malasan di tanah rantau. Masih sering mengeluh ini itu, padahal kau sudah sekuat tenaga menyediakan segala sarana dan prasarana yang menunjang saya di sini. Ah, saya malu. Malu sekali. Malu hanya bisa mempersembahkan prestasi itu-itu saja padamu, malu hanya bisa menangis cengeng saat ada masalah. Malu. Saya malu menjadi puteri dari seorang hebat seperti kau.

Masih lekat cerita tentang kau menjadi mahasiswa sipil terbaik se-Indonesia di jamanmu. Pigura saat kening kau dikecup menteri pendidikan masih segar dipajang. Saya? Jangankan Bapak Menteri, pun rektor masih kabur soal keberadaan saya. Ah, lagi-lagi saya belum berhasil memberikan kebanggaan untuk kau.

Namun apa katamu? Saya anak terhebat. Ketika saya uraikan ini untukmu, kau kata bahwa saya sudah membanggakanmu. Kau menunjuk kepala saya sambil berkata bahwa saya anak cemerlang. Kau menunjuk dada saya lalu berujar saya anak berhati lurus. Kau tak pernah mengucap sepatah kalimatpun yang membuat saya kecewa atau sedih.

Kau orang yang cuek. Katamu, saya sakit-sakitan karena terlalu membebani suatu pikiran. Saya selalu ingin mencontoh bagaimana kau dengan begitu bijak dan tenangnya menghadapi suatu masalah dan voila! masalah seketika selesai. Saya takjub. Mama benar-benar beruntung mendapatkan lelaki sehebat kau.

Tak pernah kau berkata kasar. Memukul apalagi. Namun keseganan saya pada kau sangat besar. Keseganan yang bukan berarti takut. Tak pernah kau tunjukkan mimik tak sedap pada saya dan Mama. Kata Mama, sudah dua puluh delapan tahun kalian bersama, tak sedikitpun kau pernah membuat Mama menangis. Ah, langit, tolong aminkan doa saya agar kelak mendapat lelaki berhati dan berpemahaman lurus seperti Bapak.

Lagi-lagi, saya hanya bisa berujar dari lubuk perasa saya yang paling dalam, saya bangga mempunyai Bapak seperti kau, berjanji akan terus mempersembahkan yang terbaik yang bisa saya lakukan, berjanji tak akan pernah mengecewakan kau barang seatompun. Saya berjanji. Berjanji. Hingga laut. Hingga darah. Hingga langit.

Teruntuk Bapak saya tercinta, Ir. Adrin Sululing, Bapak juara satu seluruh dunia, terimakasih untuk segala kisah yang telah dan akan kau torehkan dalam hidup saya. Saya mencintaimu karena Allah.

Peluk cium dari Ananda,

Reski Puspitasari A. Sululing

Comments

Popular Posts