Abaikan Soal Judul

Kita mengecap banyak rasa. Berjalan, berbanding lurus saling berangkul. Kau sebut saya sebagai saudaramu, pun saya menggandengmu sebagai saudara. Saya mencintai kekata yang mengalir deras dari letupan-letupan bibirmu. Saya selalu bahagia saat bertemu denganmu, memeluk tubuhmu, kemudian menempelkan pipi kiri kanan saya di pipimu. Ini membahagiakan. Susah saya gambarkan dalam rangka kata.

Sampai akhirnya, kau berkata ini itu. Saya muak. Kau dengan mudahnya memapar simbol ini itu untuk seseorang. Mereka salah. Yang demikian benar. Itu berdosa. Begini boleh. Kau berdalih. Mereka neraka karena begitu. Kita syurga karena begini. Hei, Muhammad Sang Manusia Sempurna sekalipun tak pernah mengakui bahwa ia mulia, lalu bagaimana dengan kita?

Suaramu tak lagi merdu di telinga saya. Desingnya serupa cemprengan kaset rusak. Maaf jika saya keluar dari barisan ini. Entah, silakan saja kau menganggap bahwa saya adalah neraka dan kau serta sejawatmu menuai syurga. Silakan. Kalian berhak berkata. Tapi biarkan Dia yang menata.

Comments

  1. hmm, sepertinya saya pernah berada di situasi yang sama. nice post.. salam kenal ya ^^,

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts