Tentang Teman Hidup
Well, sebenarnya ngomongin ini jadi bakalan panjang sih, apalagi kalau ngobrolnya sama teman-teman "seperjuangan", maka butuh bergelas-gelas kopi, but let's see sepanjang apa tulisan ini nantinya. Yang jelas, ini bakalan penuh dengan pendapat pribadi yang mungkin banyak pembaca yang bakalan ndak setuju atau apalah. Saya hanya ingin menulis saja hari ini, udah lama ndak nulis soalnya dan sekalinya nulis kok ya ginian. So, here we go!
Di usia segini, yang sudah mendekati seperempat abad, udah banyak banget yang nanya kapan saya bakalan naik haji ke pelaminan. Like everyone, literally everyone, is doing my business. Mereka seolah-olah yang paling tahu dan berhak menentukan kapan saya seharusnya menjadi seorang istri. Alasan yang dikasih juga beraneka ragam, dimulai dengan drama kalau saya anak satu-satunya di rumah dan sudah seharusnya saya kasih cucu ke Mama Papa saya (yang orang tua saya sendiri ndak pernah menuntut ini), sampai embel-embel kalau laki-laki akan takut mendekati saya karena saya sekolahnya ketinggian. Hm, simpel aja sih, kalau ada laki-laki yang approach dan pada akhirnya minder duluan karena tahu latar belakang pendidikan atau misalnya pekerjaan saya, maka udahlah saya coret dia dari daftar. Kenapa? Ya karena itu berarti dia udah ngeset duluan pemikiran dia yang "aku tuh cowok, aku ga mau kalau bakal istriku lebih pinter atau gajinya lebih gede dari aku," atau ya dari sononya pemikiran dia udah patriarki abis, di mana dia pengin yang jadi superior dalam institusi rumah tangga. Kalau memang dia serius, kan bisa aja tuh kita kenalan dulu, ngopi, kemudian tahu prinsip dan pemikiran masing-masing kayak gimana, tanpa prejudice yang kayak gitu-gitu.
Soal standar, saya ingat banget, beberapa waktu yang lalu, salah seorang teman dekat saya pengin nyomblangin saya ke temannya, saya mah oke-oke aja, artinya saya mau aja berteman dengan siapa saja, karena kita ga pernah tahu kita akan end up dengan siapa di masa depan. Eh terus, teman saya ngomonglah kayak gini,
"Ki, it's too difficult to find a person for you. Pastinya dia harus pinter banget biar bisa ngimbangin diskusi-diskusi kamu, dia juga harus yang pendidikannya atau pekerjaannya udah oke. Wah susah banget itu," katanya, sambil ditambahi hehehe yang crunchy. Saya diam. Lama banget. Otak saya muter kayak gasing. Apakah sampai sekarang saya tetap bertahan dengan status jomblo karena saya yang over qualified? Pada awalnya, saya merasa sedih. Artinya, kalau saya terus-terusan kayak gini, bakalan jomblo selamanya dong ya, tapi pada akhirnya saya santai, karena ya, orang yang tepat akan datang pada waktu yang tepat juga. Like, maybe orang lain menganggap kita terlalu mematok standar tinggi soal pasangan hidup, tapi kan pada akhirnya kita yang benar-benar tahu kalau orang tersebut tepat untuk kita atau tidak, karena yang bakalan menjalani kan kita-kita juga.
Gini loh, saya sebenarnya tidak ada standar untuk penampilan, apalah itu kalau tua kan hilang jugalah tampang Hamish Daud yang kita gilai di kala muda. Semuanya kembali ke personaliti. Nah, di sini nih yang ternyata bikin saya membuat list super panjang. Bukan, bukan super pemilih tapi ya kan balik-balik lagi kalau orang itulah yang akan kita temani sampai maut memisahkan. Bisa bayangkan dialah orang yang bakalan kalian tatap pertama kali saat bangun tidur, dan bakalan jadi orang terakhir yang kalian tatap juga saat pengin berangkat tidur, and of course, kalian akan menghabiskan ribuan diskusi yang panjang sama dia, dimulai dari soal budget belanja bulanan, politik, sampai hal remeh soal tren saran lipstik yang sedang in di Instagram. Well, for me, itu sangat-sangat penting. Makanya, mencari orang yang nyambung berada di top list pencarian teman hidup saya. Pokoknya, orangnya harus bisa satu tek-tokan ketika saya ngobrol, apalagi saya anaknya random bangetlah, bisa ngobrolin banyak topik di satu jam yang sama. Masalah pendidikan dan pekerjaan, well, saya ndak mau munafik, sebelum menikah ya pastilah saya dan dia sudah harus benar-benar menjadi pribadi yang siap menanggung segala risiko dan biaya sebagai dua anak manusia yang siap hidup mandiri tanpa uluran tangan orang tua.
"Wes, yang penting sayang sama kamu dan orang tuamu, Ki!" Ini salah satu saran dari sekian banyak orang yang resah kenapa di usia saya yang 23 tahun ini saya masih betah menjadi jomblo. Haha, duh ya, I know that perkara dia harus menyayangi saya dan orang tua saya itu penting banget, tapi ya kan semuanya dimulai dari masalah prinsipal juga. Ndak jarang loh orang yang pas pacaran berkasih-kasihannya dan bersayang-sayangnya itu luber, tapi di dua tahun pertama menikah kemudian mereka memutuskan untuk berpisah hanya karena mereka merasa ada ketidakcocokan soal masalah prinsip. See? Menikah itu ndak semudah bilang "I do", ada banyak banget hal yang harus dipahami sama-sama, harus diselaraskan. Perbedaan itu memang indah, tapi bukan dalam hal prinsip, ini saya loh, ya.
Memilih teman hidup, pada intinya memang bukan perkara yang gampang. Kalau misalnya kalian punya banyak banget ekspektasi dan harapan ke pasangan hidup nanti, sesungguhnya itu bukanlah hal yang buruk. Yap, selama kalian juga berusaha untuk mengeset diri kalian jadi lebih baik, ga salah dong kalau penginnya yang baik juga? Makanya sebal saja kalau ada orang yang ngatain orang lain yang masih setia sendiri karena standar dia ketinggian, lah susah lah nurunin standar kalau orang itu juga udah ngeset diri dia jadi yang sebaik-baiknya versi dia. Buat saya pribadi, jangan pernah menurunkan standar kalian soal pasangan hidup hanya karena takut dijudge sama lingkungan sosial. Jangan. Standar yang kita tentukan adalah kita yang paling tahu. Ngehe aja kan kalau misalnya kita udah berbuat biar bisa jadi diri kita dalam versi yang lebih baik lagi, terus pada akhirnya kita "menurunkan standar" hanya karena kita takut batasan umur (yang super absurd) buat nikah udah di ujung tanduk. Ga ada itu. Orang baik yang tepat akan ada di waktu yang tepat. Percayalah, wahai kaum seperjuangan!
Balik lagi nih ke saya pribadi, kalau ditanya apa standar utama yang saya tetapkan buat pasangan hidup? Yes, jawaban saya akan tetap pada kesamaan prinsip dan misi. Prinsip di sini bisa daleeeeem banget, bakalan butuh ngobrol yang panjang, dan yes, itu ga salah. Kalian semua bisa ngobrolin hal apa aja sebelum lanjut ke jenjang yang lebih jauh, yaitu pernikahan. Lucu aja kan kalau pas udah nikah dan baru tahu kalau prinsip rumah tangga si dia itu misalnya istri ga berhak mengutarakan pendapat karena kalian ga ngomongin pas di awal-awal sebelum mengucap sumpah bersetia, haha. Dah ah, segitu dulu, ngantuk.
Dear Tuan di masa depan, kalau sekarang (haha) atau di masa depan kamu membaca tulisan ini, percayalah, kamu adalah sebenar-benarnya orang yang saya cari selama ini. Tos dulu, dong!
Virginia, di luar lagi minus 13 derajat Celsius,
Kiki
Oooiii tuan... Ngopi kopsal dulu...
ReplyDeleteWaktu baca paragraf paragraf awal kupikir umurmu uda di atas 30an. Lah dalah ternyata masih 23. Masa umur 23 uda 'dipaksa' kawin sih?! Aku aja dulu 27.
ReplyDeleteSalam kenal :)
Wow, ini problem yang dialami oleh banyak sekali perempuan Asia loh, Mbak. Apalagi jika misalnya dia terlahir di lingkungan yang konservatif. Saya tidak dipaksa oleh keluarga, malah yang "mendesak" itu orang-orang yang ndak kenal pribadi saya dengan baik. Haha lucu. Salam kenal, Mbak Dian!
DeleteHai Ki, salam kenal yaa.. Hahaha dulu banget pas seusia kamu, aku juga ngrasain yang sama. Twenty something emang gitu deh, bawaan tugas perkembangan usia dewasa muda gitu haha. Tapi, yakin aja sih kalo jodoh mah udah diatur bahkan sebelum kita lahir kan, so let the right time come. Temen-temenku yang udah lebih dari 25an masih jomblo juga ada dan mereka baik-baik aja menyibukkan diri berkarya. Semangat yaa kiki :D
ReplyDeleteYuhuuuu, sepakat, Mbak Shiva.
DeleteKita sepemikiran soal ini :D, drama soal disuruh nikah bakal tetep ada. Begitu nikah disuruh bikin anak. Begitu anak udah gede dikit, diminta adiknya, dan seterusnya. Lelah memang nanggapin terus terusan.
ReplyDeleteSaya pun pernah dibilang sama temen susah dapat jodoh karena ada keinginan S3. Tapi buat saya itu teori tidak berdasar. Sebentar lagi saya 26, masih jomlo juga. Ini bukan ujian, saya lagi dikasih kesempatan buat bersenang senang sebelum bertanggungjawab jadi ibu. Positive thinking aja. Btw, salam kenal ya!
Yep, kita sedang dikasih kesempatan untuk mengasah diri menajdi perempuan yang jauh lebih keren sebelum jadi istri atau mamak. Salam kenal juga, Mbak Azzahra! :)
DeleteDulu, pernah bikin list panjang bahwa calon suami saya kelak harus begini begini begitu. Tapi, setelah lewat 26 tahun, tetiba sadar bahwa kriteria itu mentok di willingness, apakah saya mau hidup bersama dia sampai akhir usia dan vice versa. Mau berarti siap dengan segala konsekuensi.
ReplyDeleteMasih usia 23, menurutku there's still a long way to go. Toh semua akan mendapat pasangan pada saatnya. Mending sekarang cari pengalaman yang banyak dulu.
Salam kenal ya.
Aku suka komentarnya. Terima kasih, Mbak Gifta! :)
Delete