Saat Kepalaku Dipenuhi Suku Kata Namamu
cr |
"Pada akhirnya, aku merapal namamu pelan-pelan. Menembus langit. Melesat kembali. Jatuh menuju mata payungmu..."
Aku ingin meminjam hari hujan yang panjang. Kau tanya mengapa, Tuan? Sebab aku ingin memandangimu dengan detik yang panjang, di mana kau akan betah menyesap secangkir kopi pekat dan matamu lekat pada buku yang kau peluk.
Di lain waktu, aku berharap jadi cangkir kopi yang kau kecup. Atau, aku berdoa Tuhan mengubahku menjadi buku tebal yang jatuh di pangkuanmu. Aku betul-betul ingin berteduh di bawah mata payungmu. Memandanginya selama dan sedekat yang aku bisa.
Di satu waktu yang lain, rasanya aku ingin menjadi baju hangatmu sahaja. Memeluk tubuhmu. Menyergah angin yang mencoba mengendap masuk.
Maaf jika aku segila itu, Tuan. Jika tidak denganmu, biarkan aku berubah menjadi empat arah mata angin saja. Agar nantinya, di manapun matamu menatap jauh, akan selalu kau temui aku.
Alexandria, pukul 4 sore.
Di lain waktu, aku berharap jadi cangkir kopi yang kau kecup. Atau, aku berdoa Tuhan mengubahku menjadi buku tebal yang jatuh di pangkuanmu. Aku betul-betul ingin berteduh di bawah mata payungmu. Memandanginya selama dan sedekat yang aku bisa.
Di satu waktu yang lain, rasanya aku ingin menjadi baju hangatmu sahaja. Memeluk tubuhmu. Menyergah angin yang mencoba mengendap masuk.
Maaf jika aku segila itu, Tuan. Jika tidak denganmu, biarkan aku berubah menjadi empat arah mata angin saja. Agar nantinya, di manapun matamu menatap jauh, akan selalu kau temui aku.
Alexandria, pukul 4 sore.
Comments
Post a Comment