Image Tiang Listrik
Sudah Kamis aja, artinya ketemu lagi di #KamisBercerita. Heuheu, maafkan saya bolos di #RabuReview kemarin, di rumah chaos banget, sampai-sampai di grup whatsapp dikiranya saya udah mau manten. Etapi, amin sik. Ehehe.
cr |
Hari ini saya bakal cerita soal tiang listrik, eh, ndak deng, tinggi badan saya yang menjulang dan akhirnya dapat julukan tiang listrik dari teman-teman sepermainan. Yah, badan saya memang ukurannya agak di atas rata-rata, tidak seperti perempuan melayu seusia saya kebanyakan. Sudah tinggi, beratnya pun "lumayan", belum pernah dikatai gendut sih, kata orang saya itu agak gempal. Ntahlah.
Ceritanya, saya dimasukkan ke sekolah di usia yang lebih muda setahun lebih dari usia teman-teman sekelas saya, jadilah saya paling adik atau Bahasa Koreanya disebut dongsaeng. Nah, tapi perkara paling adik di kelas ini, tidak ditunjang dengan badan yang lebih mini dari yang lain. Saat itu, saya bertubuh lebih tinggi dari teman sekelas saya, dan juga gempal (ahaha, gendut deng gendut, takut saja ada teman SD saya yang baca ini dan bilang saya sok kurus waktu SD xD). Pokoknya saya terlihat seperti paling kakak di kelas itu, padahal umur saya jauh lebih muda dari yang lain.
Impasnya, saya terus-terusan menjadi yang paling muda di kelas, bahkan sampai di perguruan tinggi tempat saya menimba ilmu, selalu saya menjadi perempuan dengan postur paling tinggi di angkatan, tapi dengan usia yang lebih muda dari mereka. Keuntungannya? Banyak. Saya selalu ikut ekskul yang keren semasa sekolah, yang mensyaratkan tinggi badan, seperti marching band. Belum lagi tiap acara lomba gerak jalan, saya selalu dipilih untuk mewakili sekolah, lumayan bisa dapat camilan gratis dan nasi bungkus pengalaman baru lagi. Semasa SMA, ekskulnya makin banyak lagi, dan yang paling kece tentu saja jadi tim PASKIBRA sekolah, beuh, itu kerennya ndak kira-kira, jadi bisa melatih adik junior juga, yang kalau kita baik, bakal selalu dikasih cokelat.
Selepas SMA, saya ke luar dari "kandang" menuju kota lain. Masuk di sebuah PTN, saya ternyata masih sosok dengan postur tinggi di antara teman-teman sebaya, ketemu sih sama perempuan lain yang agak tinggi, Nur namanya, tapi tetap saja masih saya yang tinggi. Nah, sisi ndak enak (etapi tergantung sih dilihat dari sisi mana) dari punya badan tinggi ini adalah, selalu disangka angkatan tua. Ahaha. Saya ingat betul, di satu pagi saya dan Nur pergi ke rempat potokopi depan kampus, buat jilid buku paket, eh, si daeng potokopinya menyangka kita berdua adalah asisten dosen yang artinya sudah angkatan lama, padahal waktu itu kita masih di tahun pertama, dan juga susah sekali buat nyari ukuran sepatu, soalnya kaki saya ukurannya 41, itu jarang banget ada sepatu lucu ukurannya begitu, sekali ada, itu bentuknya udah kecowokan. *krai krai krai
Tapi, apapun itu, ya mbok disyukuri. Mau badan kita tinggi, pendek, gendut, langsing, kurus, atau apapun orang-orang menyebutnya, kita harus tetap bersyukur, karena itu semua pemberian Tuhan. Bersyukur selalu dan jaga kesehatan serta apa yang sudah Dia titipkan buat kita.
Sampai jumpa lagi di #KamisBercerita pekan depan. Ciao!
Comments
Post a Comment