Merawat Bahasa di Tanah BABASAL, Menjaga Identitas Generasi
Oleh: Reski Puspitasari A. Sululing
(Generasi BABASAL)
Kita
sebagai rakyat Indonesia tentu sadar akan betapa kayanya bangsa kita tercinta.
Bukan hanya dari segi sumber daya alam yang berlimpah, namun juga dari segi
warisan budaya yang meliputi keragaman bahasa. Negara kita memiliki kekayaan
ragam bahasa yang luar biasa, yakni lebih dari 700 bahasa di penjuru nusantara.
Jika
menilik lebih ke Timur Indonesia, kita akan menjumpai Provinsi Sulawesi Tengah
yang di dalamnya terdapat banyak suku, dan salah tiganya adalah Banggai,
Balantak, dan Saluan. Ketiga suku ini pun memunyai bahasa tersendiri yang
digunakan oleh penuturnya. Ini semakin membuat kita tersadar bahwa betapa
kayanya Indonesia dengan segala keberagamannya, dan sudah menjadi kewajiban
kita untuk merawatnya.
Lalu
timbul pertanyaan, bagaimana cara merawatnya? Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, merawat berarti memelihara, menjaga, mengurus, dan membela.
Sedangkan menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, merawat berarti mengasuh, menjaga,
serta menyelenggarakan. Ini berarti, merawat bahasa di Tanah BABASAL bukan
hanya sekedar menjadi penutur aktif, melainkan juga ikut mengajarkan bahasa
tersebut kepada generasi penerus yang berarti peran tersebut adalah menjaga dan
menyelenggarakannya.
Menurut
dokumentasi ingatan serta pengalaman penulis sendiri, sekarang ini, di tanah
BABASAL, begitu banyak generasi yang tidak paham benar dengan bahasa yang sudah
menjadi warisan para leluhur di Tanah BABASAL. Akibatnya, para generasi muda
yang tentu saja kelak akan memegang penuh kendali di Tanah BABASAL, menjadi
seperti kehilangan identitas diri. Berjalan keluar dari Tanah BABASAL menemui
banyak orang di luar sana, ketika ditanyakan mengenai kesukuan mereka, mereka
akan menjawab dengan mudah apakah itu Banggai, Balantak, atau Saluan, tetapi,
saat diminta untuk bertutur menggunakan bahasa itu, kebanyakan dari mereka
menjawab gagap dan (mungkin) malu bahwa mereka tidak bisa. Nah, ini adalah
sebuah kenyataan pahit yang mau tidak mau harus kita telan, bahwa, para
generasi muda BABASAL mulai krisis identitas.
Apa
pasal hal tersebut sampai terjadi? Tentu saja, kita tidak bisa serta-merta
melupakan sekolah pertama seorang anak, yakni di rumah. Percepatan teknologi
dan arus informasi serta modernitas saat ini ternyata tidak melulu membawa
dampak yang bisa kita katakan baik-baik saja. Sebab faktanya, sebagian besar
orang tua di Tanah BABASAL lebih nyaman memberikan bahasa pertama atau mother tongue kepada anaknya dengan
Bahasa Indonesia, bahkan ada pula yang memberikan langsung bahasa asing seperti
Bahasa Inggris sebagai pemerolehan bahasa pertama untuk anak-anaknya. Tidak
salah mengajarkan anak Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing, tapi ada baiknya
pengenalan serta pemerolehan bahasa anak pertama kali adalah bahasa daerahnya.
Kemudian,
krisis identitas para generasi penerus di Tanah BABASAL ini juga disebabkan
oleh rasa minder serta malu akan warisan budaya para leluhur. Penulis
memerhatikan, sangat jarang sekali ditemukan perkumpulan anak muda BABASAL yang
mau dan bersungguh-sungguh mengkaji kebudayaan BABASAL, terkhusus bahasa
BABASAL itu sendiri. Miris, sebab penulis pun mendapati beberapa teman dari
luar negeri yang mulai bergerak masuk ke dalam untuk belajar lebih mengenai
budaya BABASAL. Tentu saja, ini menjadi tamparan keras untuk kita, para
generasi penerus Tanah BABASAL, yang seharusnya bangga, malah seperti ogah-ogahan belajar bahasa kita sendiri.
Sekalinya ada teman yang bertutur bahasa Banggai, Balantak, atau Saluan, malah
kita menertawai dan mengejek mereka kampungan dan tidak up to date. Lah?
Pada
akhirnya, lagi-lagi kita harus berhenti sejenak dan berintrospeksi. Rasa-rasanya
sekarang kita butuh campur tangan pemerintah daerah untuk memasyarakatkan
bahasa daerah di Tanah BABASAL ini. Tidak ada salahnya kita menengok sistem
pendidikan di luar kabupaten ini, misalnya di Sulawesi Selatan yang memasukkan
pelajaran bahasa daerah Makassar dan Bugis serta aksara Lontara sejak bangku
pendidikan dasar hingga sekolah tingkat atas, yang hasilnya membuat Prodi
Bahasa Daerah perguruan tinggi di sana padat peminat. Kita bisa menyaksikan
betapa anak muda metropolitan di sana sangat-sangat bangga dan nyaman bertutur
dengan bahasa daerah mereka. Pun, begitu banyak tempat yang mewadahi generasi
mereka untuk mengkaji dan mempelajari lebih dalam budaya mereka.
Menutup
tulisan ini, saya meminjam ungkapan bijak dari mantan presiden Republik
Indonesia yang keenam, Susilo Bambang Yudhono, “Kearifan lokal harus tetap dijaga, karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai universal.”
Tulisan ini dimuat di Harian Luwuk Post tanggal 27 Oktober 2015.
Comments
Post a Comment