Indonesia Darurat; Gairah Membaca yang Menyedihkan
Oleh: Reski Puspitasari A. Sululing
Budaya
membaca masih menjadi persoalan penting dan pekerjaan rumah yang perlu kita
nomorsatukan. Bagaimana tidak, hal ini merupakan salah satu kunci majunya
peradaban sebuah bangsa. Bangsa yang besar dan bangsa yang maju adalah bangsa
yang masyarakatnya menjadikan membaca sebagai budaya yang tak lepas dari
kesehariannya, dan, itu belum kita temui pada diri masyarakat kita.
Menurut
hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, 90,27 persen masyarakat
Indonesia lebih senang menonton televisi, sedangkan hanya 18,94 persen masyarakat
Indonesia yang senang membaca. Fakta ini membuat Indonesia berada di peringkat
terbawah dari 17 negara yang skornya di bawah standar Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). Hal ini tentu saja patut membuat kita bersedih hati dan
merenungkan betapa budaya membaca masih sangat jauh dari keseharian masyarakat
kita. Akibatnya, dengan rendahnya budaya membaca bangsa kita, artinya hal ini
akan berdampak besar terhadap ketertinggalan kita terhadap bangsa lain, yang
lagi-lagi akan menyinggung soal kualitas bangsa.
Walaupun belakangan ini telah banyak hadir
tangan-tangan yang peduli untuk mendongkrak gairah membaca bangsa ini, tapi
sayangnya hal tersebut kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Kebiasaan
membaca perlu ditingkatkan sebab mimpi melahirkan masyarakat modern dan
berpengetahuan mustahil akan berhasil tanpa adanya “membaca” (Uswatun Hasanah;
2012).
Namun, menanamkan kebiasaan atau budaya membaca pada
masyarakat Indonesia bukanlah perkara mudah atau hal sepele. Perlu usaha yang
keras. Fakta di lapangan yang kita temui adalah betapa masyarakat kita lebih
senang mengakrabkan diri dengan tontonan televisi membuat hal ini menjadi
semakin tidak mudah. Sebab, apa yang telah menjadi kebiasaan, akan butuh usaha
yang lebih untuk mengubahnya.
Fenomena gairah membaca yang menyedihkan ini tentu
saja akan membawa dampak yang serius terhadap Indonesia. Di sini, pemerintah
wajib memberikan perhatian ekstra terhadap permasalahan ini. Kita perlu bekerja
sama dan saling bahu-membahu untuk membangun generasi cerdas yang senang dan
gemar membaca. Kita perlu lebih banyak menstimulasi gairah membaca dari
masyarakat kita, hal ini tentu saja akan jauh lebih baik jika ditanamkan sejak
dini, dalam artian, kurikulum pendidikan kita wajib memasukkan kegiatan cinta
baca sejak kanak-kanak dari generasi ini. Pertanyaan pentingnya adalah
kapan kita mau memulai aksi ini? Kemudian, apakah kita hanya ingin menjadi
sekedar penonton ataukah ikut mengambil peran dalam hal ini?
Banyak faktor yang membuat bangsa kita, Indonesia,
berada pada titik darurat lemahnya budaya membaca. Pertama, betapa kita sulit
menemukan tokoh panutan yang benar-benar giat membaca dan mencontohkannya.
Sayang seribu sayang, pertelevisian kita misalnya, hanya dihiasi dengan
segelintir tokoh yang gemar cibir-mencibir untuk mengundang gelak tawa, tak
jarang diiringi aksi konyol yang tidak sepantasnya disaksikan oleh anak-anak.
Kedua, fasilitas membaca seperti perpustakaan daerah atau taman baca yang
sangat langka ditemukan, terkhusus di daerah-daerah berkembang. Inilah yang
perlu digarisbawahi oleh pemerintah bahwa betapa pentingnya fasilitas membaca
yang memadai untuk mendongkrak keinginan membaca masyarakat Indonesia.
Kemudian, faktor lainnya adalah harga buku yang terlampau tinggi yang akhirnya
membuat daya beli masyarakat kita sangat rendah. Di sini lagi-lagi pemerintah
harus memberikan perhatian lebih agar dapat mengontrol harga buku di pasaran
sehingga mampu menyerap daya beli masyarakat menjadi lebih tinggi. Hingga pada
akhirnya, faktor kesadaran dirilah yang menjadi kunci utama. Kita, sebagai
masyarakat Indonesia dan generasi penerus bangsa, harus menanamkan kesadaran
diri akan pentinya budaya membaca. Faktor inilah yang terpenting, sebab ketika
kita telah menyadari bahwa betapa budaya membaca mengambil peran penting
terhadap majunya sebuah peradaban, maka tak ada lagi alasan lain yang akan
membuat kita menjadi malas-malasan untuk gemar membaca dan menyebarkan virus
cinta akan membaca pada lingkungan.
Dan, sepatutnya kita ingat, bahwa perintah pertama
yang turun dari Tuhan kepada manusia paling suci utusanNya terdahulu adalah
membaca. ”Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”.
(Surah Al-Alaq: 1).
Tulisan ini dimuat di Harian Luwuk Post tanggal 16 Oktober 2015.
Comments
Post a Comment