Bincang Buku: Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir
Sebenarnya ini adalah kali ketiga saya "melahap" buku ini hingga tamat. Entah mengapa, buku ini selalu berhasil mencuri perhatian saya saat sedang berada di zona perasaan kacau dan kemudian melirik rak buku di sudut kamar. Sampulnya didominasi warna putih dan gambar bangunan Dome of the Rock yang megah. Buku ini saya beli saat masih duduk di bangku kuliah, tepatnya saat semester lima. Kesan orang-orang yang melihat saya membaca buku ini selalu sama; mengerutkan kening sambil menatap saya dari kepala hingga ujung kaki. Mungkin mereka berpikir lah kok muslimah berkerudung lebar bacaannya Jerusalem? Jerusalem kan kaitannya erat sama kristen sama Yahudi. Entah. Saya hanya menebak. Tapi, salah seorang kerabat dekat saya pernah berkata demikian saat melihat buku ini teronggok di kamar saya. Persis. Saya hanya menjawabnya dengan senyuman. Salah saya yang terlalu malas menjelaskan.
Kembali ke buku ini, edisi yang saya punya adalah edisi soft cover. Saya tipe orang yang senang membeli buku dengan edisi sampul yang tebal jika sedang berlebih, tapi saat pertama kali saya jatuh hati pada buku ini, sayang sekali di toko buku itu tidak tersedia edisi yang bersampul tebal. Buku ini ditulis oleh Trias Kuncahyono, seorang wartawan senior. Di halaman-halaman awal, kita akan disuguhkan kata pengantar dari beberapa tokoh, salah satunya adalah Ninok Leksono, redaktur senior Harian Kompas. Mata saya tertumbuk patuh membaca setiap kalimat pengantar dari buku ini, seperti pemanasan dan stretching sebelum benar-benar masuk ke dalam isi buku.
Buku ini berhasil "menculik" saya masuk ke dalam alurnya. Walau sedang berada di dalam kamar atau ruangan kantor berpendingin suhu rendah misalnya, tetapi saya benar-benar merasa sedang berada di Jerusalem. Saya seperti benar-benar merasai kaki saya sedang menapak pada jalan berbatu panjang yang pernah dilalui Yesus Kristus saat menanggung salib di pundaknya, saya benar-benar seperti mendapati diri saya menyaksikan kota yang dianggap istimewa oleh tiga agama ini. Ajaib! Trias berhasil "menggandeng" indra perasa saya untuk hanyut ke dalam apa yang dia lihat, dengar, serta rasakan saat sedang berada di kota ini. Benar, buku memang merupakan tiket ajaib menuju ke mana saja, yang sejatinya kita hanya duduk di satu titik.
Trias bermain aman dalam menulis buku ini. Sebagai seorang wartawan ataupun personal, rasa-rasanya kita akan sangat kesulitan untuk mempertahankan obyektifitas menulis saat itu berkaitan langsung dengan prinsip pribadi, tapi Trias berhasil membuktikan bahwa dia bisa. Melalui buku ini pula, kita bisa mengetahui permasalahan dalam konflik yang terus berlarut, apa keistimewaan Jerusalem sampai-sampai diperebutkan oleh tiga agama. Di dalam buku ini Trias benar-benar menjelaskan secara rinci mengenai kota ini, baik keindahan arsitektur kuno serta sejarah Jerusalem.
Bahasa jurnalis yang relatif mudah dipahami menjadi nilai tambah bagi buku ini. Font yang menyenangkan untuk dibaca juga menjadi daya tarik lainnya. Reportase dari Trias benar-benar membuat kita merasa sedang berada di Jerusalem.
Terakhir, this is a very good reference for those who want to understand Jerusalem in every historical and conflict aspect. Recommended!
Kantor, sambil menyantap tahu goreng dan sambal beku buatan Mamak.
Comments
Post a Comment