Gerimis Kita
Gerimis membuat aku lupa pada rasa sakit. Sakit pada setiap kalimat yang pernah kau ucap padaku Gerimis menghapusnya telak, seperti menghilangkan jejak sepatu kita pada derak tanah kemarin.
***
Aku menarik napas dalam. Ini hari pernikahanmu. Tentu sekarang kamu tengah tersenyum bahagia dan tersipu menerima ucapan selamat dari para tamu sembari bergelayut manja di tangan lelaki itu, lelaki pilihanmu. Sementara aku? Aku hanya bisa terpekur memandangi gerimis yang jatuh satu-satu dan menepuk kaca jendela kamarku. Aku harus melupaimu dan aku harus bangkit dari segala rasa sakit ini.
Dulu ini sering sekali kau sebut gerimis kita. Gerimis yang menyoal betapa kita akan selalu mencintai sepanjang sisa hidup yang akan kita lalui bersama-sama. Tentang bagaimana repotnya kita nanti saat rumah mungil kita didera musim hujan dan atapnya bocor. Banyak kenangan. Terlalu banyak. Dan itu membuat saya sesak. Tiga tahun bersama, sampai gerimis dua bulan kemarin kau mengucap kalimat itu.
“Maafkan aku, Rei. Kita tidak bisa melanjutkan ini. Terlalu berat. Terlalu banyak keraguan yang menghampiriku akhir-akhir ini menyoal kita. Ada baiknya kita sudahi saja semuanya. Dia, lelaki pilihanku saat ini, telah berhasil menebas segala raguku padamu dengan memilih dia sebagai teman hidupku.”
Kau pergi. Berbalik. Menanggalkan segala cerita tentang gerimis kita.
(Cerita ini tengah diikutkan pada lomba Flash Fiction yang diadakan oleh Klub Buku Makassar)
Comments
Post a Comment