Bromo di Musim Lalu
Pagi ini awan masih malu-malu menjalar di pergelangan langit. Aku masih terdiam memandangi haru deru udara pagi. Bunga edelweis di tanganku yang seperti kaku berdesir.
Itu dua tahun yang lalu. Kisah lama yang akan kusimpan rapi dalam teropong hidup paling dalam. Aku memandangi jari-jariku yang memutih. Udara pagi di Bromo sangat dingin. Aku tak bisa menolak rayuan keindahan matahari terbit dari sini, pun walau sebenarnya ada kisah pilu yang kusimpan dalam saat pucuk-pucuk embun menyentuh tanah basah Bromo, dua tahun silam.
Dingin semakin menusuk, aku putuskan untuk mempercepat langkah menuju ke arah puncak. Saat di mobil van tadi kakiku sudah terasa kram, udara subuh sejak di kaki gunung tadi memang sudah semakin memuncak. Aku putuskan untuk kembali merapatkan tanganku di antara kepitan ketiak. Dan ini sangat tidak membantu.
Lima belas menit kemudian mobil van merapat ke gerbang. Aku putuskan untuk melompat menuju warung kopi yang sudah ramai pengunjung walau sepagi ini. Memesan segelas kopi dengan uap mengepul sepertinya bukan ide yang buruk.
“Mang, ndak dingin? Itu ada sarung tangan yang disewakan. Murah mang hanya lima ribu rupiah.” Mamang penjual kopi menawarkanku halus. Aku menggeleng sopan sambil tersenyum lalu. Aku tidak butuh. Aku ingin melawan rasa dingin di atas sana, sembari melawan ngilu di hatiku, sisa kesakitan dua tahun lalu.
Aku berjalan memasuki gerbang. Tanganku kebas melawan dingin. Gigiku bergemeretuk menandakan hawa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuh. Aku menatap kawanan kuda yang bergerombol di salah satu sudut, para penjaja kuda tersebut mulai menawarkan ke para pengunjung untuk disewakan. Aku menggerung dalam, berjalan menuju puncak seorang diri. Masih dengan hati yang ngilu. Mungkin sejak tadi kalian bertanya ada apa denganku. Ada apa dengan dua tahun yang lalu.
Sebenarnya ini cerita lama. Luka lama. Tapi waktu belum berbaik hati untuk menyembuhkan nganga sakit di relung. Mungkin belum saatnya. Dan hari ini aku memutuskan untuk mengobati luka itu sambil menatap kabut putih di puncak Bromo. Aku duduk bersimpuh di salah satu batu. Di tempat ini, dua tahun yang lalu, aku menyaksikan dengan mata kepalaku bagaimana dia mengangguk mantap sambil bergumam iya pada laki-laki itu, sahabatku sendiri. Aku mengingat betul bagaiman napasku menjadi kaku satu-satu saat melihat sorot matanya. Dia memberikan senyum termanisnya pada laki-laki itu, tanpa berpaling sejenak pun pada rentetan kabut Bromo di pagi hari. Ada yang salah. Aku meremas bunga edelweiss ungu yang tadinya akan kuberikan pada dia pagi ini. Habis. Tak ada lagi kesempatan sedikitpun. Mungkin aku terlambat. Atau waktu masih belum berbaik hati untuk membuat hatiku bersatu. Aku mungkin terlalu sulit untuk berdamai dengan rasa takutku, takut bila aku mengutarakan rasa ini, dia akan memutuskan rasa persahabatan yang telah lama kami bangun. Tepat saat hari pelulusan, aku mengajaknya mengunjungi Bromo. Ia mengangguk mantap, ia selalu menyukai embun dan kabut. Selalu. Aku akan mengutarakan rasa sayangku padanya, tepat saat embun datang kabut datang menyapu permukaan Bromo. Tapi semua hancur berkeping-keping saat temanku, Samudera, ikut menemani kami ke Bromo. Aku tak tahu tentang perasaannya pada perempuanku, sama sekali tak tahu. Saat kabut tipis mulai nampak dari puncak, kuputuskan membeli edelweiss ungu kesukaannya, sekaligus mengutarakan rasa sayangku untuk kemudian memintanya menjadi teman hidupku. Tapi saat aku tinggal beberapa langkah lagi,potongan percakapan penting mereka, tertangkap oleh indera pendengarku. Dia, perempuanku, menerima pinangan Samudera. Tanpa sebersit ragu sedikit pun dari sorot matanya. Aku tergugu, edelweiss ungu di tanganku remuk. Mahkota kecilnya satu-satu berguguran. Mataku pedas. Aku rasanya akan menangis. Kukuatkan hati untuk masuk dalam percakapan yang langsung mereka alihkan. Namun sungguh, tatapan mata bahagia milik mereka tak bisa disembunyikan. Mereka bahagia di atas ngilu hatiku. Tapi tidak, mereka tidak salah, mereka tidak mengetahui segala apa yang ada dalam hatiku. Betapa pagi itu, dua tahun yang lalu, adalah pagi penuh sembilu ngilu buatku.
Kemudian pagi ini, aku ingin menghapus segala ngilu dan sesak itu. Aku harus berdamai dengan masa lalu, sesakit apapun itu. Aku menatap kabut yang mulai menghilang terusir cahaya matahari yang mulai menelisik. Udara dingin belum sempurna pergi. Aku masih menahan gigil. Terlebih gigil di hatiku. Tuhan, sesulit inikah berdamai dengan masa lalu itu?
Aku menatap nanar batu yang sedang kududuki. Terdiam lama. Tidak, aku tidak harus begini terus. Mereka berdua telah menikah dan dikaruniai seorang puteri yang begitu lucu –mereka mengirimkan foto puteri mereka lewat jejaring sosial-. Mereka sahabatku, itu berarti aku harus turut berbahagia atas kebahagiaan mereka. Tapi akukah seorang sahabat itu? Yang lari sejak kejadian itu, tidak menghadiri perhelatan pernikahan mereka, tidak menjawab telepon ataupun sms serta email yang mereka kirimkan. Pun saat puteri mereka lahir, aku masih enggan untuk menunjukkan batang hidungku di hadapan mereka berdua. Mereka selalu mencoba datang ke rumahku, itu kata pembantuku. Tapi tentu saja hasilnya nihil, aku sedang berada jauh di Pulau Papua, mengabdikan diriku sepenuhnya menjadi tenaga pengajar di daerah perbatasan tersebut. Jauh dari hingar bingar dan penuh ketenangan.
Aku harus. Aku harus berdamai dengan segala rasa sakit ini. Kutatap seikat bunga edelweiss yang kubawa daritadi. Bunga ungu itu kembali kaku. Mungkin, perempuan itu sama dengan bunga ini, akan terus hidup di mana saja, namun pasti perasaannya akan berbeda ketika dia berada di tempat yang sesungguhnya. Mungkin aku memang bukan orang yang tepat untuk dia. Mungkin memang Samudera adalah yang terbaik untuk segala sisa hidupnya. Aku mengangguk dalam. Sudah saatnya aku menyudahi segala keterpurukan dua tahun ini. Cukup. Semua sudah cukup.
Aku tersenyum. Tersenyum lega. Aku segera bangkit, meninggalkan seikat bunga edelweiss di batu itu. Biarkan. Biarkan segala rasa pahit itu beralu. Rasanya, saat ini waktu sudah berbaik hati padaku. Aku harus bangkit. Aku harus bisa menyelesaikan ini. Kuputuskan berjalan turun menuju gerbang. Perempuan berkerudung biru tersenyum menyambutku.
“Sudah selesai berdamai dengan masa lalunya, Mas?” Perempuan berlesung pipi itu menggengam tanganku. Tangannya hangat. Pun senyumnya. Terlebih sorot mata serta kesabarannya atas menemaniku melewati hari-hari sulitku.
Dia adalah Nisa. Perempuan yang kutemui saat menjadi guru di daerah perbatasan. Dia seprofesi denganku. Setahun di sana, dia berhasil membuatku melupakan separuh rasa pahit dan kembali membuka hati, dan di tahun kedua, aku memutuskan memintanya menjadi teman hidupku dengan menceritakan segala kepahitan masa laluku. Aku memang kejam dengan ini semua, tapi sungguh, aku mencintai Nisa, dengan rasa cinta yang baru dan lebih besar. Dan saat kami mendapatkan jatah liburan, Nisa mengusulkan aku ke tempat ini –tempat yang paling tidak ingin kukunjungi- untuk mengobati masa laluku, dan dia berhasil telak.
Kutatap perempuanku, Nisa. Dia sungguh perempuan yang hebat. Kugenggam tangannya untuk menghangatkan tanganku, serta gigil di hatiku. Semua sudah selesai. Aku sudah sembuh sempurna dari rasa sakit. Nisa, adalah perempuanku satu-satunya di hidup ini.
“Jadi setelah ini kita jadi kan ke rumah Samudera dan Sarah, Mas?” Nisa bertanya lembut sambil menatap mataku. Aku mengangguk pelan namun mantap.
“Iya, Sayang. Aku mencintaimu.”
Kampus, 8:45 saat dosen tak satupun yang masuk.
Comments
Post a Comment