Titik
Kepala saya seperti diketuk-ketuk selusin tamu. Saya jengah. Saya mencoba mencari cara agar dapat menghilangkan kejengahan itu, walau saya sadar itu tak akan mudah.
Seperti malam ini, ketika deru kipas angin menemani detik sunyi saya di ruang berbatas ini, kamu mengirim pesan di telepon genggam saya. Saya terpekur. Telepon genggam saya menjerit lembut. Kamu bertanya hal yang sayapun jengah merasainya. Saya sudah baca pesan kamu. Saya pahami isinya.
Lalu? Saya rasa, kamu terlalu berlebihan. Kagum saya kamu artikan melewati dari arti sejati kagum itu sendiri. Saya beri kamu penegasan. Saya teliti bau kalimat saya. Jejak kata saya. Wujud klausa saya. Yang mana? Lalu kamu menggeleng. Entah.
Saya ingin membangun simpul indah dengan tali-tali itu. Simpul yang orang kebanyakan menamainya persahabatan. Saya yang terlalu bersemangat? Atau kamu yang menafsirkannya lebih? Pun saya tak bisa mengelak bahwa saya kagum atas kamu. Atas kerja cerdas kamu. Atas sorot mata kamu. Namun sungguh, berhati-hailah menafsirkan sandi-sandi itu. Saya takut. Terlalu takut.
Harapan-harapan yang kamu anggap meruntuhkan saya, bahkan belum sama sekali terbangun di hati saya. Saya tidak pernah mengikat tali pada tiang yang salah. Saya belajar meraba mozaik-mozaik itu agar tak salah tempat. Tenang, pun saya tak pernah mendefinisikan barisan kalimat kamu sebagai pengungkapan. Tidak. Dan kamu meminta agar saya tak pernah membuka definisi itu karena katamu kamu orang yang salah. Saya sadar, pun saya orang yang salah untuk kamu. Salah. Dan tak akan pernah benar di sisimu.
Untukmu pecinta malam. Di tengah kantuk yang menderu. Selaksa kata ini pengantar tidur saya. Terimakasih untuk telah mencoret warna indah dalam hidup saya.
Comments
Post a Comment