Karena Kita Adalah Dua Stroberi Berbeda
Baiklah, akan kuceritakan kepadamu, mengapa aku mencintai gadis ini. dialah yang akan menjadi tokoh utama dalam ceritaku. Aku bertemu padanya-lebih tepatnya jatuh sayang padanya- sejak ia menjadi juniorku di kampus. Kami dekat. Dekat sebatas kakak senior dan adik junior. Dia menghormatiku, dan tentu saja aku menghargainya. Namun akhirnya perasaan yang sudah lama tak pernah kutengok sejak gadisku sebelumnya-yang kini tidak lagi- pergi melanjutkan studi di negeri daun merah itu. Yah, perasaan yang membuatku tercekat, kemudian terperangah. Aku jatuh cinta pada gadis itu.
Ada yang salah dari persaudaraan kami selama ini. ia yang sudah kuanggap adik, namun dengan sejuta perasaan tak bersalah yang ia miliki, ia menerobos dinding sekat perasaanku. Aku mencintainya bukan tanpa alasan. Ia seperti pelengkap kebahagiaan juga kesedihan dalam hatiku. Aku mencintainya ibarat aku mencintai pelukan hangat ibuku, mencintainya seperti disaat aku merindui nasihat bijak ayahku, juga mencintainya seperti saat akau menertawai suara cadel adik kecilku. Yah, sederhananya, aku mencintainya.
Tepat setelah aku menemukan hari dimana aku bisa menyatakan rasa ini, bukan untuk memacarinya, tapi untuk menjadikannya pengisi kepingan yang melompong dalam hatiku. Ia tersipu. Aku mengerti. Ia berbeda dari gadis yang lain. Ia tak sama. Itulah yang membuatnya spesial di mataku. Ia mengangguk pertanda ia ingin aku persunting secepatnya. Aku bodoh. Itu masih terlalu jauh. Ia masih duduk di semester awal, sedang aku sendiri belum merampungkan kuliahku. Tapi ketika ia mengangguk menyetujui untuk mengikat tali berkomitmen denganku, entah mengapa aku serasa ingin berteriak, meluapkan rasa bahagiaku. Siang itu, kupandangi punggungnya yang berbalik meninggalkanku yang masih tersipu. Jilbab anggunnya terangguk dibelai angin di bawah pohon ketapang tempatku duduk. Ia indah.
***
Aku mencintainya. Seperti aku mencintai saudara-saudaraku. Tapi entah, perasaan merah muda itu dengan ganas namun lembut, menyusup perlahan ke dalam batinku. Aku jatuh cinta. Rasa yang selama ini kujaga mati-matian, ternyata takluk di hadapan seseorang seperti dia, yang menurut kebanyakan orang biasa saja. Tapi bagiku ia indah. Laki-laki itu, telah membuatku jatuh ke dalam lubang yang kuanggap aku tak akan pernah memasukinya sebelum aku dijemput oleh seseorang di koridor suci nana gung. Yah, akhirnya aku jatuh cinta padanya.
Siang dimana ketika aku mengangguk setuju mengenai tali komitmen yang akan kami sulam bersama, kuanggap adalah hari dimana aku melakukan hal yang paradox dalam hidupku. Aku sesak. Bukan cinta seperti ini yang aku harapkan. Aku ingin menunggangi kesucian cinta yang telah halal buatku. Bukan cinta yang seperti ini. aku menangis. Kebahagiaan sedetik yang kurasa kemarin, terhapuskan oleh derita menggunung yang bertengger di pundakku. Aku takut akan DIA yang akan murka pada cintaku ini.
Kucoba untuk memahami hatinya, namun ternyata ada satu yang tak bisa kutemukan dalam dirinya. Aku mencari seorang lelaki yang sanggup membinaku untuk kehidupan abadi di sana. Bukan, bukannya akau meragukan kemampuannya mengayomiku atau tidak, tapi bagaimana ia akan mampu berdiri tegak menjadi imamku, sedang aku yang masih tertatih menjadi makmum sejengkal di belakangnya. Aku risau. Akhirnya, kuputuskan untuk-ingin lebih tepatnya- mengakhiri sulaman yang kuanggap berkubang dosa ini.
***
Aku tahu ia tak bahagia dengan pernyataanku, ternyata rona merah yang hadir di pipinya itu hanya sesaat. Kutahu ia menangisi semua keputusannya. Aku juga merasakan sesal itu. Ia sudah memperingatkanku lewat berbagai isyarat melalui pesan singkat. Aku tangkap pesan yang ingin ia sampaikan. Besok, aku ingin berbicara padanya. Aku tak ingin gadis itu merasa tersiksa dengan cinta yang aku sajikan di meja kehidupannya.
***
Ia paham ternyata. Lelaki itu mengajakku bertemu kembali, namun dengan suasana hati yang berbeda. Aku pun mengerti maksud pesan singkat yang ia kirimi lewat telepon genggamku. Aku mengangguk perlahan sambil mengetikkan kata Ya sebagai balasan pesan itu untuknya. Besok kami akan bertemu.
***
Gedung bertingkat itu membisu. Anginpun seolah mengerti maksud kami bertemu. Jajaran pohon yang meninggi terpaku diam menanti slide adegan berikutnya. Aku duduk menungguinya. Ia akhirnya datang. Berbasa-basi pada awalnya, dan akhirnya suara yang daritadi tercekat di tenggorokanku keluar dengan membahana. Pelan tapi dalam.
Kuputuskan, kami mengakhiri komitmen ini. mengakhiri semua scene yang menyesakkan ini. aku tahu ia juga tersiksa, apakah ini yang namanya cinta jika gadisku tersakiti? Biarlah, biarlah ibu waktu yang akan menjawab, apakah kami ditakdirkan bersama kelak, atau tidak. Yang jelas, aku tak akan mengikatnya, mengikatnya dalam kesesakan yang tak berarti. Yang mungkin pada akhirnya membuahkan kesia-siaan dan keperihan hati, yang entah berujung atau tidak, antara kami berdua.
Gadisku menarik nafas. Ia mengangguk lega. Aku tersenyum. Ah, dia tetap gadis yang-kurasa- tak akan mampu tergantikan dengan gadis lainnya.
***
Ia menyampaikannya dengan lugas. Lelaki itu, ia mengerti akan perasaanku. Kami memang berbeda, kami ibarat stroberi yang memiliki rasa yang sama, namun kami dibalut dalam bentuk yang tak serupa. Biarlah lembaran-lembaran waktu berikutnya yang akan menjawab kegalauan ini. ia, mengerti akan apa yang menyesakkanku akhir-akhir ini. ia, tetaplah lelaki yang aku sayangi, namun aku juga tak ingin mengikatnya dalam suatu jalinan yang mengundang murkaNya. Itu bukanlah cinta yang hakiki,
***
Kami berdua berpisah di pelataran hampa. Ia tersenyum, mengangguk, kemudia berbalik. Ia gadisku, ia lelakiku. Semoga apa yang kami harapkan dikemudian hari, sama denga apa yang telah DIA tulis dalam lembaran kitabkitab kehidupan kami.
Tak usah dipaksakan, toh semua akan terjawab jika waktunya tiba.
Sululing Reski
like this
ReplyDeletebagus bnget... folow jg blogku. irna-izzyatin.blogspot.com
ReplyDelete